Mentari telah pergi, menenggelamkan diri di balik cakrawala. Panasnya hari telah terganti dengan dinginnya malam. Bulan dan bintang yang seharusnya menjadi penghias malam, kini tertutupi oleh awan kelabu tebal yang kini tengah menyelimuti langit.
"Gue harus nemuin Anna."
Juna yang semula tengah berbaring di kasur king size miliknya kini beranjak bangkit dan menuju lemari pakaian. Sedari tadi ia bertingkah layaknya orang gila, mondar- mandir kesana kemari,berbaring, bangkit lalu berbaring lagi. Ia tidak bisa menyingkirkannya perasaan bersalah yang menggerogoti dirinya.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya telah mengenakan kaos putih polos dibaluti jaket kulit hitam dan kakinya terbungkus oleh celana jeans hitam legam. Juna berjalan keluar, memilih untuk berjalan kaki menuju ke apartemen Anna karena jarak apartemen mereka yang cukup dekat.
Juna menekan tombol bel apartemen Anna berkali kali, namun tak ada balasan. Ia berdecak kesal, laki-laki itu merasa sangat khawatir saat ini, ia sangat takut jika Anna akan membencinya.
Juna menekan dial telepon Anna dan berharap-harap cemas Anna akan mengangkatnya. Namun nihil, harapan tinggal harapan. Berkali kali Juna berusaha menelpon Anna, tak ada tanda-tanda bahwa Anna mengangkatnya. Juna memilih untuk mengirim pesan singkat pada Anna tentang keberadaannya saat ini. Namun tak ada yang terjadi setelahnya.
Laki-laki itu sudah berdiri disana selama beberapa jam. Dengan perasaan cemas yang tak terkira.
"ANNA. MAAFIN AKU. KASIH AKU KESEMPATAN ANN. PLEASE BUKA PINTUNYA."
Juna berteriak frustasi,tak memperdulikan tatapan aneh yang dilontarkan orang orang yang sedang berlalu lalang melewatinya.
"Ann, please.." Juna menyandarkan bahunya pada pintu apartemen Anna yang kokoh. Perlahan, ia merosot ingga terduduk.
"Aku mohon, Ann. Kasih aku kesempatan." Lirih Juna.
"Aku tau kamu gak bakal denger. Aku bodoh ya,Ann."
Juna mulai meneteskan air matanya. Air mata yang selama ini tidak pernah tumpah dari kedua mata elangnya. Ia tak pernah setakut ini kehilangan. Anna sangat berarti bagi Juna.
Tanpa sepengetahuan Juna, tepat di balik pintu Anna menangis tanpa suara. Bersandar pada pintu yang memisahkan punggung mereka. Ia mendengar semua perkataan Juna. Semuanya. Bahkan sejak awal laki-laki itu menginjakkan kaki disana. Namun ia sakit, hatinya sakit. Anna kehilangan kepercayaan pada sosok Juna saat ini.
Lama saling mempertahankan posisinya masing masing,kini Juna beranjak bangkit, ia melirik jam yang bertengger di pergelangan tangan kirinya. Waktu telah menunjukkan pukul 22.41 saat ini, itu berarti sudah hampir empat jam Juna menunggu, berteriak, berbicara sendiri layaknya orang bodoh. Hujan petir menggelegar malam ini. Membuat suhu dingin merajalela.
Juna berbalik, menghadap pada pintu bercat putih di hadapannya dengan harapan bahwa Anna akan memberinya kesempatan, atau setidaknya membuka pintu itu.
"DIANNA ASTRALDA ALLYSON. AKU MINTA MAAF. AKU BAKAL NUNGGU DISINI SAMPAI KAMU BUKA PINTUNYA ANN. Please... kasih aku kesempatan." Juna yang awalnya berteriak dengan nada tinggi langsung meluruh menjadi sendu.
Ceklek.
Pintu apartemen Anna terbuka, menampakkan Anna yang kacau. Tubuhnya yang terbaluti baju tidur kuning berlengan panjang,wajahnya yang memerah, dan matanya yang sembab menambah daftar kekacauan pada dirinya. Gadis itu muncul dengan tatapannya yang acuh.
"Masuk."
Anna membukakan pintu untuk Juna. Juna masuk dan duduk di sofa coklat panjang yang berada diruang tamu apartemen tersebut. Anna yang baru saja selesai menutup pintu, menyusul Juna dan duduk disampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour Et Histoire [COMPLETE]
Lãng mạnCassandra Caroline merupakan gadis yang terkebelakang dalam urusan otak dan hati. Ia pernah menaruh hati pada seseorang yang dibencinya, Juna Alvaro, seorang pria berketurunan Australi-Indonesia yang notabene adalah senior disekolahnya yang hanya me...