30 - Happier

258 9 0
                                    

Sandra melangkah dengan wajah lesu. Bagaimana tidak, ia bahkan tidak bisa mengerjakan satu soal pun saat ujian mata pelajaran matematika wajib. Minggu yang melelahkan sekaligus memuakkan bagi Sandra. Saat dimana ia hanya dapat berkutat dengan buku setuap harinya. Sandra sangat berada dibawah teman temannya yang lain jika dibandingkan dalam bidang akademik.

"Hai." Sapa Sandra. Sandra lantas menarik kursi yang berara didepannya kemudian kembali menekuk wajahnya lesu.

"Kenapa? Gabisa lagi?" Gavin tergelak, mengejek Sandra yabg menurutnya sangat bodoh dalam pelajaram matematika, pelajaran yang paling ia kuasai.

"Ya lo sih. Salah lo gak ajarin gue semalem. Gue remed, lo yang salah. Bodo." Sandra tampak begitu kesal. Ia lantas membentur benturkan kepalanya kearah meja didepannya. Hingga sebuah tangan menahan kepalanya dan mendongakkan kepalanya agar menghadap sang empu pemilik tangan.

"Don't you remember? It's 8th. Half a year ago i asked you to be mine." Perkataan Gavin diakhiri sebuah senyum menawan yang mampu menghipnotis siapapun yang melihatnya, jika saja Gavin bukan milik Sandra tentunya.

"Really? Gak nyangka udah setengah tahun ya. Gue tau ini alay, but selamat hari jadi ke 6 Gavino. I love you now, tomorrow, and ever after." Raut Sandra berubah secepat kilat. Semula ia tambah lesu, kini matanya berbinar bahagia. Jika ini adalah sebuah anime, mungkin mata Sandra kini tengah dihiasi oleh sinar laser berbentuk bintang.

"I love you more. Even if i die." Gavin tersenyum, tangannya secara spontan terjulur mengelus pipi ranum Sandra lembut.

"Satu minggu lagi, gue jemput lo. Kita ke Paris. Mau kan?" Tangan Gavin setia bertengger di pipi Sandra.

"REALLY? OH MY GOSH!!" Reflek Sandra berteriak. Membuat seluruh pengunjung kantin menatap aneh kearahnya. Seperti biasanya, Sandra hanya mengabaikannya dan sibuk mengatur degub jantungnya. Ia pikir bakteri dan virus telah menyerang jantungnya dan melakukan disko didalam jantungnya.

Sandra sangat bersyukur memiliki Gavin. Gavin orang terpenting setelah Marissa, mamanya. Gavin selalu dapat membuat dunianya berwarna. Ia selalu bisa membuat mood Sandra yang semula jelek menjadi baik kembali.

"Iya ncess." Gavin terkekeh melihat tingkah laku Sandra yang lebih seperti anak balita mendapat sebuah permen, daripada seorang remaja.

"Tapi ntar mama gak ngebolehin gimana?" Wajah Sandra kembali lesu.

"Kalo gue bilang gue udah ijin dan tante Marissa ngijinin, lo percaya gak?" Seringai muncul diwajah Gavin.

"Ha?"

"Kemaren gue kerumah lo. Niatnya sih mau ngajarin lo, karna gue tau lo bakal ngerengek kek gini. Lo nya malah tidur, dan gamau dibangunin. Yaudah sih gue niat pulang. Eh tante Marissa pulang, trus ngajak gue ngobrol. Yaudah gue bilang kalo gue mau ajak lo ke Paris. Then, diijinin." Jelas Gavin panjang.

"Gak mungkin mama segampang itu ngijinin." Sandra menyanggah. Ia tahu mamanya tidak akan membiarkannya pergi berdua dengan pria dengan jarak yang jauh.

"Emang sih gue harus bujuk berkali kali. Secara bonyok mana yang bakal biarin anaknya keluar negeri bareng lawan jenis cuma buat alasan jalan-jalan? Ya ada sih, tapi gasemua bonyok gitu kan?" Gavin mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu disana.

Sandra yang merasa terabaikan kemudian menarik ponsel Gavin paksa. Matanya membelalak. Gavin tak bercanda, ia memesan tiket pesawat secara online. Sebegitu keraskah Gavin berusaha membuatnya selalu bahagia? Hati Sandra menghangat karenanya.

●●●

Hari ini merupakan hari terakhir ujian semester. Bel tanda habisnya waktu telah berbunyi semenjak 5 menit yang lalu. Wajah riang menghiasi wajah siswa siswi Binus yang yengah melangkahkan kakinya dikoridor sekolah. Bukan karena mereka bahagia karena dapat mengerjakan soal ujian dengan baik, tapi karna ujian telah berakhir untuk saat ini.

"Finally." Sandra merenggangkan otot tubuhnya yang serasa kaku.

"Jangan lupa. Semester 6 kita ada UN, USB-" Perkataan Erika terpotomg karena tangan jahil Sandra yang kini membekap mulutnya.

"Diem. Gak. Usah. Diingetin."

"Hoi." Gavin muncul dengan tas yang dibertengger di bahu kanannya.

"Haiiii. Makan es krim yuk." Sandra dengan segera melepaskan tangannya dari wajah Erika. Kemudian mengapit lengan Gavin manja.

"Gue gabisa. Ada urusan. Besok aja ya ncess." Gavin perlahan melepaskan apitan tangan Sandra.

"Urusan apaan?" Sandra mengerucutkan bibirnya kesal. Bagaimana tidak, ia telah menginginkan es krim sejak lebih dari seminggu yang lalu, namun ia menahannya. Ia tidak ingin jatuh sakit pada saat pelaksanaan ujian.

"Kepo banget lo kadal." Gavin menepuk kepala Sandra pelan.

"Lo jadi ngajak ini kadal liburan?" Tanya Erika yang sedari tadi hanya menjadi penonton sebuah sinetron yang ditayangkan secara live. Benar-benar live.

"Jadi." Gavin menganggukkan kepalanya.

"Kapan?"

"Tiga hari lagi sih. Lo juga jangan lupa packing. 5 hari disana cukup kan?" Mata Gavin yang semula mengarah kearah Erika, kini berpalimg mengarah kearah mata teduh Sandra.

"Ya." Jawab Sandra singkat.

"Lo kenapa lagi sih ncess?"

"Ya lo. Gue udah bilang gue pengen es krim." Sandra melipat tangannya didepan dada.

"Manja lo tai. Bhay gue minggat." Setelah memberikan sebuah 'pujian' bagi Sandra, Erika melangkahkan kakinya menjauhi keduanya, ia merasa tak sanggup jika bertahan sedikit lebih lama lagi untuk menyaksikan adegan yang menurutnya mirip sinetron.

"Besok ya ncess. Gue beneran gabisa sekarang." Gavin menggenggam kedua tangan Sandra, matanya menyorotkan rasa bersalah yang sangat kentara. Sandra yang menyadari hal itu spontan merasa bersalah. Karena keinginan bodoh dan keegoisannya, Gavin menjadi seperti ini.

"Vin, gue minta maaf. Gue egois ya." Sandra menundukkan kepalanya dalam. Sungguh, ia merasa sangat keterlaluan kepada Gavin.

"Gapapa kok. Gue gak marah. Besok. Gue janji besok gue bawa lo makan es krim. Sebanyak apapun mau lo. But not now. Gapapa?"

"Iya." Sandra menganggukkan kepalanya beberapa kali. Gavin hang melihat hak itu hanya tersenyjm simpul dan menarik tangan Sandra agar berjalan beriringan dengannya.

Gavin menginjakkan pedal gasnya kembali sesaat ketika Sandra turun dari Lamborghini Vaneno miliknya. Ia tersenyum simpul, membayangkan ekspresi senang Sandra di hari esok.

Amour Et Histoire [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang