03. Senja dan Janji

74 8 0
                                    

[🍅] enjoy!
.
.
.
.
.

Suara mesin detak jantung yang diiringi detak jarum jam mengisi kesunyian di ruangan besar berisi alat medis yang lengkap dan tak lupa gadis cantik yang terbaring lemah dengan mata tertutup erat──entah benar di bawah pengaruh obat bius atau hanya tidur, menemani tiga orang yang masih saja terdiam. Enggan membuka mulut dan memberitahukan apa yang terjadi.

Menghela nafas lalu menghembuskannya lagi, orang tua tersebut mengumpulkan keberanian untuk bicara.

"Kondisi jantungnya semakin memburuk," Ujar seorang pria tua yang mengenakan jas putih, kepalanya yang bersih tak terdapat rambut sama sekali mengkilap diterpa cahaya lampu.

"Bukan hanya jantungnya yang memburuk, ginjalnya juga. Jika terus seperti ini cangkok jantung harus dilakukan," lanjutnya dengan suara berat, menahan tangis.

"C-cangkok jantung?" Tanya wanita paruh baya yang sedari tadi tergugu di pelukan Sang suami.

"Ne, cepat atau lambat itu harus dilakukan. Kalaupun cangkok jantung, persentase berhasil dan gagalnya sama besar. Setelah cangkok jantung pun hidupnya tak akan sampai satu dekade dengan kondisi ginjalnya yang turut serta memburuk seiring berjalannya waktu, operasi kecil yang dilakukan sebelumnya hanya menunjang kerja jantungnya sebentar, selebihnya tak membantu," jelasnya sambil terus memandangi wajah cantik dengan mata tertutup milik keponakannya.

"Hanya dua pilihannya. Melakukan cangkok jantung dengan kemungkinan berhasil dan gagal yang sama besar atau membiarkan kedua organ tersebut memburuk dan bekerjasama membunuhnya perlahan."

Tangis wanita paruh baya tadi semakin menjadi-jadi di pelukan suaminya, tak kuasa mendengarkan pengakuan Sang dokter. Dunianya serasa direnggut paksa.

"Dosis obatnya akan tetap sama, saya tidak akan menambahkan dosis. Karena bahan kimia yang terkandung dalam dosis besar hanya akan memperburuk kondisi ginjalnya. Terus berdo'a dan pikirkan resiko demi resiko yang akan kalian ambil. Selamat malam, permisi!" Dokter tersebut melenggang pergi, meninggalkan mereka bertiga yang kalut dalam pikiran masing-masing.

"Sudah-sudah, jangan menangis! Semua pasti ada jalan keluarnya, sayang. Jangan menyiksa dirimu sendiri." Ujar Sang suami menenangkan istrinya yang semakin tergugu.

Tangannya terarah ke kepala Sang puteri, mengusapnya perlahan──tak membiarkan puterinya terusik ataupun tersakiti.

"Ayo pulang, biarkan dia istirahat!" Ajaknya menuntun Sang istri yang wajahnya sudah sembab dipenuhi air mata untuk keluar dari ruangan.

Yakin orangtuanya sudah keluar, gadis yang berada di ranjang pun membuka matanya perlahan lalu menghela nafas. Ia sedari tadi tak tertidur ataupun berada di bawah pengaruh obat bius, ya, sedari tadi ia mendengar apa yang dikatakan Sang paman.

"Kapan kita bertemu? Aku lelah!"

◇◇◇

Sudah satu minggu ini Sera tak menampakkan dirinya di sekolah, dan membuat Kara selama satu minggu penuh pula selalu berkunjung ke rumah sakit. Ia tak pernah absen walau satu hari, meskipun kunjungannya tak lama tapi cukup untuk membuat Sera dan Kara menjadi lebih dekat.

Kini keduanya berada di rumah sakit, tepatnya di balkon kamar Sera, menikmati langit biru yang perlahan berganti warna. Menyaksikan Sang surya yang perlahan tenggelam di ufuk barat ditemani oleh burung-burung yang mulai berterbangan menuju sarangnya, awan putih yang kontras dengan warna matahari perlahan bergerak seiring ditiup angin.

"Ini!" Kara menyerahkan buah pisang yang telah dikupas kulitnya kepada Sera.

"Gomawo." Ujar Sera tulus.

KABISAT | TAEYONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang