12. Insiden Di Aula Seni

52 5 0
                                    

[🍅] enjoy!
.
.
.
.
.

Hawa dingin menyelimuti sekitarnya, bahkan ia tak luput merasakan sensasi dinginnya angin malam. Membuat raga dengan hati dingin miliknya semakin dingin.

Matanya beralih pada langit malam yang begitu sepi tanpa perhiasan yang biasanya menemani.

Ia menyapukan pandang dari sudut satu ke sudut lainnya di  mana netranya dapat menjangkau.

Saat netranya menemukan satu bintang kecil yang sedikit redup di langit malam tersebut, dua sudut bibirnya tertarik ke atas hingga membentuk pola simetris di wajah tegas nan tampan miliknya.

"Apa kabar?" Lirihnya pelan.

"Aku ingin menyuarakan isi hatiku, sebentar saja. Rasanya aku tak sanggup lebih lama memendam ini. Jadi tolong dengarkan sebentar, lalu beri tahu pada angin malam agar berbisik padaku tentang pendapatmu," Ujarnya entah pada siapa, namun yang pasti netranya terpaku pandang pada bintang yang memancarkan cahaya kecil nan redup tersebut.

"Aku rindu." Ia terkekeh di akhir.

"Menggelikan bukan? Semasa appa hidup aku tak pernah menyatakan hal seperti itu, dan sekarang saat kau menjadi bintang aku berani mengutarakan apa yang kurasa,"

"Pengecut sekali anakmu ini, padahal aku lelaki,"

"Sekarang aku juga tahu, bagaimana rasanya menyesal, ia selalu datang di akhir." Ia tersenyum lembut.

"Mungkin di sana kau menertawakanku, tak apa, tertawalah selagi appa bahagia." Lelaki pemilik netra tajam tersebut menghela napas pelan, mencoba mengurangi sesak yang bersarang dalam dada.

Sesak yang semakin menjadi saat benaknya menampilkan rupa Sang ayah dan seseorang yang mulai menyusup masuk dalam hatinya.

Ia benci keduanya datang bersamaan, hingga ia tak tahu emosi apa yang harus ia salurkan pada alam yang kini hanya diam.

Entah memperhatikan, atau menertawakan kebodohannya.

"Appa?"

"Mianhae, anakmu yang bodoh ini tak mendengarkan permintaan eomma. Hingga dengan tekad kembali ke ibukota seorang diri,"

"Seperti mendapatkan karma. Di  sini, aku bertemu dengan dia. Dia yang memiliki darah perenggut nyawamu,"

"Perlu appa tahu, aku benci dengan satu rasa yang ada di semesta ini, sangat benci hingga aku menganggapnya sebagai sebuah kepalsuan,"

Jikalau boleh lelaki itu jujur, ia lelah menyangkal sebuah rasa, namun ia tak kuasa mengendalikannya.

Dia merasa bodoh saat tak dapat mengendalikan dirinya.

Ia kehilangan kuasa atas dirinya.

"Aku sangat membenci keturunan pembunuh itu, mencoba menjauhinya namun ia semakin mendekat. Aku seperti mempunyai magnet yang dapat menariknya,"

"Aku ingin ia segera lenyap menyusulmu dan bersujud di kakimu meminta pengampunan, namun aku juga tak mau ia pergi begitu saja,"

"Dia terlalu menjijikkan untuk hidup di dunia ini..."

Ia memejamkan matanya erat.

Semakin rendah temperatur sekitar, semakin isi benaknya bertolak belakang dengan isi hatinya.

Dikepalkan tangannya kuat-kuat lalu menjambak rambutnya, mencoba menghilangkan pening namun hasilnya malah sebaliknya, kepalanya tambah pusing.

".. dia tak pantas hidup."

KABISAT | TAEYONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang