🌼 15 🌼

1.2K 152 8
                                    

"Ih Kakak ... ngapain ambil punya Isy sih?"

Ameera memeletkan lidah. Menggoda sang adik yang sudah pasang wajah nelangsa akibat sosisnya dia curi.

"Kamu tuh udah makan empat. Nanti lama-lama badan kamu kayak donat," kata Ameera sebelum melahap habis sosis ayam rampasannya.

Daisy merengut. Bibirnya maju tiga senti kayak mulut bebek. Bocah itu mendongak pada sang ibu yang tengah mengunyah nasi goreng. "Ma, Kakak tuh. Sosis Isy diambil sama dia. Kan Kak Rara udah punya sosis sendiri."

"Ududu ... ngadu aja bisanya."

"Ma," rengek bocah itu lagi. Pipi bakpaunya menggembung. Matanya sudah berkaca-kaca.

"Kak Rara usil banget sih gangguin adeknya," tegur sang ibu dengan suara lembut. "Jangan nangis dong. Isy kan anak pinter. Mama masakin lagi, ya sosisnya."

Tidak perlu ditawari dua kali, bocah berkepang dua itu bersorak kesenangan. Apalagi ibunya langsung beranjak menuju dapur.

Ameera mencibir, tapi tak pelak gadis itu tertawa karena berhasil menjahili adiknya. Sementara ayah mereka, tersenyum sehangat mentari pagi. Tangannya terulur mengusap surai lembut putri kecilnya.

"Isy seneng gak nanti udah masuk sekolah SD?"

"Seneng, Pa. Tapi Isy takut, kalau ibu gurunya galak gimana?"

Pria berkumis tipis itu lagi-lagi tersenyum. Meraih Daisy lantas mendudukkannya di atas pangkuan. "Ibu gurunya gak galak kok kalau Isy-nya gak nakal. Jadi, Isy sekolahnya yang baik, ya. Dengerin apa kata ibu gurunya. Oke?"

"Sy?"

"Daisy?"

"Ah?" Daisy tersentak hingga menjatuhkan sendok ke atas piringnya. Menyisakan bunyi nyaring yang konstan untuk beberapa detik.

Gadis itu mengerjap lambat. Lantas mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Keningnya berkerut, karena ruang makan ini terasa asing. Tidak seperti yang ada di rumahnya tadi.

"Kok ngelamun? Nggak suka ya sama makanannya?"

Kepala Daisy menoleh ke samping. Pada Rahma yang kini juga sedang menatapnya dengan sorot bingung. Tanpa sadar, gadis itu menghela berat. Ternyata tadi dia tenggelam dalam lamunan masa kecilnya. Sampai lupa jika kini ada di rumah Akas.

"Isy? Kenapa?" tanya Rahma lagi.

"Enggak kok, Bun. Isy baik-baik aja."

"Isy nggak suka sama makanannya? Mau Bunda buatin sesuatu?"

"Nggak usah, Bunda. Ini enak banget kok."

Gadis itu tersenyum. Tapi tidak dengan matanya. Baik Rahma, Akas juga Sadam sama-sama bisa melihat jika gadis itu tengah membohongi diri sendiri. Dari gesturnya yang kaku. Tatapan matanya yang sayu. Juga kerut di pusat keningnya. Ada yang mengganggu pikiran gadis itu. Entah apa. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

"Bunda jago banget masaknya. Dendengnya enak banget. Juara. Pantesan Bang Sadam sampai nambah."

Gadis itu menyuap banyak-banyak nasi ke dalam mulut. Mengunyah cepat dan sesekali memamerkan cengiran. Dari semua usahanya untuk terlihat baik-baik saja, Daisy tak kuasa menahan bendungan di bawah mata yang sedari tadi dia tahan-tahan, berakhir jebol. Airnya merembes dan meluncur bebas di permukaan wajah. Cepat-cepat Daisy mengusap kasar pipinya.

"Pedes ya, Bun. Isy sampai keluar air mata," ocehnya lagi sambil terkekeh dengan suara bergetar.

Rahma tahu ada yang salah di sini. Dia pun menaruh sendoknya. Meneguk air lantas memutar duduk sembilan puluh derajat hingga menghadap Daisy yang duduk di sampingnya. "Isy lagi ada masalah, ya? Kalau mau, Isy bisa cerita ke Bunda. Mana tahu Bunda bisa bantu."

Daisy [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang