Daisy kebingungan. Ketakutan juga. Saat dirinya yang semula memakan bekal di kelas, tiba-tiba ditarik berlari melewati lorong-lorong panjang yang ramai akan umat manusia.
"Gempa woi! Gempaaa ...."
"Tiarap-tiarap!"
Setelahnya, suara tawa bergema. Terdengar sangat bahagia. Karena kenyataannya, tidak benar-benar ada gempa. Siapa pun tahu itu.
Maksud mereka yang berteriak-teriak seperti tarzan barusan adalah bentuk euforia mereka tiap kali Daisy melintas di koridor. Badan gempalnya ini dipercaya bisa menggetarkan bumi tiap kali melangkah.
Bayangkan, jalan normal saja bisa bikin gempa. Apalagi berlari. Mungkin langit langsung runtuh.
Daisy menggigit kuat bibir bawahnya. Matanya sudah berkaca-kaca. Dia ingin melepaskan tarikan Hesti--teman sekelasnya. Lalu berbalik kembali ke kelas.
Setidaknya, hanya di kelas dia bisa 'sedikit' merasa aman. Di sana dia bisa menghirup napas dengan tenang. Tanpa olok-olokkan yang membuatnya malu, rendah diri, dan sakit hati.
Teman-teman sekelasnya hanya menganggap Daisy sebutir debu yang tidak pernah dianggap keberadaannya. Bukankah lebih baik begitu? Ketimbang di luar, makan hati mendengar cercaan dirinya yang tidak ada habis-habisnya jadi bahan tertawaan.
Maskot Ancol saja masih kalah pamor darinya.
Setali tiga uang dengan koridor, kantin langsung riuh dengan sorak-sorakan tatkala Daisy tiba di sana.
"Bayi bagong lewat, guys!"
"Kasih jalan woi! Mati kegencet kan gak lucu lo pada."
Tertawa lagi.
Daisy sakit hati.
Tapi apalah yang bisa si anak kelas tujuh tidak berdaya ini lakukan? Selain menangis yang hanya akan membuat semua orang menambah lusinan gelar kehormatan untuknya.
Hesti masih setia menariknya paksa. Melangkah lebar menyusuri kantin hingga berhenti di samping meja yang terletak di paling pojok.
Senyum aneh lima perempuan yang mengisi meja tersebut langsung menyambut mereka. Daisy tertegun dengan wajah pucat pasi. Jantungnya berdegup makin cepat. Napasnya tercekat. Air mukanya sudah sekeruh air bah. Terutama saat Hesti melepaskan tangan Daisy. Menatapnya prihatin sebelum pamit pergi.
Meninggalkan Daisy bersama sekawanan anak kelas sembilan yang selama enam bulan ini, menyita ketenangan Daisy di sekolah. Memberikan banyak 'kejutan' yang membuat angan-angan terhadap masa SMP yang indah Daisy lenyap sudah.
"Pagi, Daisy," sapa salah seorang dari kawanan itu. Senyum lebarnya justru membuat Daisy ketar-ketir.
Tangannya mencengkeram erat tepian rok. Menggigil ketakutan lantaran mencium banyak kejanggalan dan menipulasi dari balik senyum itu. "K-kak Bella," cicitnya tak berani melirik.
Perempuan yang Daisy panggil Kak Bella itu meminta teman di sebelahnya pindah. Lalu memaksa Daisy mengisi tempat tersebut yang semula sudah dia bersihkan dengan tisu.
Bella menopang dagu menatap Daisy yang masih tertunduk. Menatap jalinan jemarinya resah. "Sy, menurut lo, buang-buang makanan itu boleh gak sih?"
Semua kepala di meja pojok itu menjadikan Daisy pusat atensi. Menatapnya dengan tatapan-tatapan menyimpan kegelian.
"Nggak boleh, Kak," jawab Daisy setelah menghimpun banyak pasokan udara untuk mengisi rongga dadanya. "Kata mama mubazir."
"Terus, kalau mubazir itu temennya siapa kalau boleh tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Daisy [COMPLETED]✔
Novela Juvenil(Belum Direvisi) Terkadang, apa yang terlihat baik di luar, tidak begitu pula di dalam. Seperti Daisy Ambarilis. Selebgram sekaligus vloger cantik yang punya ratusan ribu followers di instagram. Dia ceria, murah senyum dan bersahaja. Tapi di mata Ak...