3. a glass of wine

10.9K 1K 17
                                    

"Sehabis makan siang nanti kita meeting sama HR ya, Mbak, di ruang metting 5.D," Yulia menyerahkan sebendel berkas kepada perempuan di hadapannya.

Renjana menerima sodoran berkas dari Yulia, membuka dan melihatnya sekilas sebelum meletakkan di atas meja bersama berkas-berkas lain yang harus Renjana pelajari hari ini. "Iya. Nanti selain kamu, ada juga Chris sama Kayla, kan?"

"Iya, Mbak. Mereka berdua memang yang in charge dengan conseling untuk employee," jawab Yulia.

"Ya udah. Sampai ketemu nanti pas meeting."

"Kalo gitu saya mau turun dulu, Mbak. Mbak Rena nggak mau makan siang sekalian?"

Renjana tersenyum. "Saya ada janji sama Desi. Nanti saya juga turun kok."

Mendengar nama perempuan yang disebut oleh Renjana, Yulia hanya bisa tersenyum kikuk. Siapa juga yang berani mendekati anak pemilik perusahaan kalau bukan yang satu kelas dengan dirinya. Yulia ini kan hanya remahan rengginang kalau disandingkan dengan Desi. Dia pun akhirnya mengundurkan diri dari hadapan Renjana.

Sepeninggalan Yulia, Renjana menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Kepalanya pening akibat dari pagi berkutat dengan tumpukan berita baik di luar maupun di dalam SCM yang harus dia tangani. Belum lagi, pagi tadi ia tidak sempat sarapan akibat terlalu terburu karena bangun agak telat.

Ponsel di atas mejanya berkedip berkali-kali. Sudah dapat diprediksi bahwa Desi-lah yang menghubunginya kali ini. Maka, tanpa repot-repot membalas pesan Desi, ia langsung meraih dompet serta ponselnya kemudian berjalan keluar ruangan.

Baru berjalan sekitar beberapa meter, laki-laki berkemeja abu-abu yang lengannya dilipat sampai ke siku berpapasan dengan Renjana. "Hai, Na," sapa Rama dengan senyumnya yang merekah lebar.

"Hai, Ram, makan siang nih?"

"Iya nih. Lo sendiri, makan sama siapa?"

"Sama--"

"Renaaaaaa!"

Baik Rama maupun Renjana terkekeh. Mendengar seruan perempuan dari arah belakang mereka saja keduanya sama-sama paham apa jawaban untuk pertanyaan Rama tadi. Desi ini orang yang memiliki jabatan puncak di departement mereka tapi seperti bukan menduduki jabatan puncak saja dengan tingkahnya yang heboh itu.

"Eh, Rama."

"Hai, Des," sapa Rama.

Tiga budak korporat kelas kakap itu pun akhirnya berjalan beriringan menuju lift. Sambil mengobrol santai, tak terasa mereka sudah sampai di depan lift yang rupanya sudah ada dua orang lain yang menunggu di depannya.

Renjana yang mulanya menunduk karena membalas pesan dari Merakai tak sadar akan identitas dua orang yang menunggu lift lebih dulu selain mereka. Kalau bukan karena Rama yang mengajak dua orang itu mengobrol dan salah satu dari mereka menjawab, mana mungkin Renjana sadar jika mereka adalah Aksa dan Senandika. Sekali lagi, Senandika!

"Ah, ada yang belum kenalan, kan?!" Rama dan Desi mendadak berseru bersamaan. Baik Renjana dan Senandika saling menatap lekat.

Keduanya masih terpaku sampai akhirnya Aksa berucap, "Udah-udah, kenalannya di dalem lift aja." Dan laki-laki itu pun mendorong dua sobatnya masuk lift. Kali ini Desi pun bertindak serupa, menyeret Renjana memasuki lift yang sama. Akibat perkumpulan itu, karyawan-karyawan lain yang hendak turun akhirnya memilih tersenyum sopan sembari mempersilakan perekumpulan setan--begitu mereka memanggil--turun lebih dulu. Dengan senang hati pula Rama menekan tombol agar pintu lift segera menutup.

"Na," Aksa menepuk bahu Renjana. Yang ditepuk menoleh ke belakang, memandang Aksa penuh tanya. Padahal ia sudah tahu betul apa maksud Aksa.

"Ini lho, Na," Desi menyahut. "Senandika, kalian belum sempat kenalan secara proper, kan?" Dapat Renjana tangkap dengan jelas nada mengejek dari ucapan Desi.

Days After We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang