7. he always thinks 'bout her

7.6K 863 35
                                    

Mungkin sudah satu bulan lebih Senandika tidak menginjakkan kaki di pekarangan rumah yang luas ini. Sebuah rumah berwarna broken white bergaya klasik itu langsung terbuka pintunya sesaat setelah Senandika menginjakkan kaki di teras berlantai marmer. Adalah Bi Minah, seorang pelayan yang sudah mengabdi puluhan tahun bersama keluarganya, hingga Kartika sampai menghibahkan sebuah rumah satu lantai untuk keluarga Bi Minah tak jauh dari kompleks perumahan tempat mereka tinggal.

Kemudian Kartika yang masih menggunakan apron cream menyambutnya di ruang tengah yang luas. Wajahnya yang putih bersih terlihat berkilau ketika melewati lampu gantung yang memendarkan sinar kuning keemasan ke seluruh penjuru ruang tengah. "Anak mama, masih inget jalan pulang ya ternyata!" serunya nyaring. Seorang Argatama Putra Wijaya bahkan sampai menolehkan kepala dari piano yang sejak tadi ditekurinya.

Senandika memutar bola matanya namun tak ayal, ia tetap menyambut dengan senyum lebar pelukan sang ibu. "Makanya mama jangan lupa nyalain terus GPS-nya dong, biar aku tau di mana jalan ke rumah, Ma."

"Ck, kamu ini! Bawa apa itu?"

Dan seperti perempuan-perempuan kebanyakan, ibunya jelas tak bisa tenang ketika melihat paper bag bertuliskan sebuah merek yang dibawa oleh Senandika. Lelaki itu menyerahkan barang yang dibawanya kepada sang ibu. Kartika menyambutnya dengan senyum semringah kemudian langsung membongkarnya di sofa berwarna ivory tepat di bawah lampu gantung.

"Wah, tau aja kamu Mama lagi ngincer sepatu ini."

"Mama kan berisik mulu di grup. Kode ini itu, ya anak SD juga paham kali maksud Mama," timpal Senandika. Dia melepas jas yang sejak tadi melingkupi badannya kemudian menyerahkannya pada Bi Minah. "Makasih, Bi."

"Iya, sama-sama, Den." Bi Minah pun undur diri untuk membantu menjaga masakan yang Kartika tinggalkan di dapur.

"Tau aja lo, Kak, cara ngerayu Mama biar nggak ngomel," Arga, sang adik ikut membuka suara dari tempatnya duduk.

Dua anak bujang Kartika itu tengah menonton sang ibu yang berdansa mengenakan sepatu heels setinggi lima sentimeter pemberian Senandika. Senandika bahkan tak sungkan tertawa terbahak ketika melihat sang ibu dengan napas terburu menyandarkan pinggang di sandaran sofa. Rupaya perempuan setengah baya itu kelelahan.

Dan seolah tersedot, wajah Senandika berubah kaku kembali ketika eksistensi seseorang yang baru bergabung terasa. "Ada apa ini? Berisik banget."

Seperti Senandika yang langsung mendudukkan diri di sofa dekat dengan ibunya, Arga juga langsung berbalik kembali mengulik lagu bersama piano kesayangannya. Sejak memutuskan mengambil kuliah seni musik, Argatama memang tak pernah akur dengan Bakti Wijaya. Adik Senandika itu dengan terang-terangan menunjukkan sikap tak sukanya atas keotoriteran sang ayah, berbeda dengan Senandika yang masih mau menurut dan tidak menunjukkan sikap lelah terhadap sang ayah di depan muka.

"Lihat deh, Pa, Dika beliin Mama sepatu yang Mama incer nih," ujar Kartika memamerkan sepatu yang sejak tadi tak henti-hentinya ia kagumi.

Hanya kepada Kartika pula seorang Bakti Wijaya bisa melebarkan senyumnya seperti itu. Senandika bahkan lupa kapan terakhir kali sang ayah tersenyum kepadanya dengan tulus. Sejak dipaksa untuk mengikuti jejaknya berburu jabatan di Sentraya Cipta Mandiri, sepertinya saat itulah rasa bahagia ketika berada di bawah atap rumah ini diambil dari dalam diri Senandika.

"Makan malamnya sudah siap, Nyonya," ujar salah seorang pelayan yang bertugas di dapur dari balik tembok pembatas antara ruang tengah dengan ruang makan.

Kartika menepuk tangannya heboh. "Yuk yuk, kita makan sekarang."

Bak anak itik, Bakti, Senandika, dan Argatama mengikuti langkah Kartika menuju ruang makan. Formasi yang sudah lama tak Senandika temui. Dengan sang ayah yang duduk di kepala meja, Kartika duduk di sebelah kanan sang kepala keluarga, Senandika berhadapan dengan ibunya, dan terakhir Argatama akan duduk di sisi kirinya.

Days After We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang