Tepat pukul 18.35 Renjana keluar dari ruangannya. Di beberapa bilik kerja sudah terlihat kosong ditinggal oleh pemiliknya. Langkah kaki Renjana kemudian membawanya keluar dari kantor sekretariatan perusahaan menuju lift. Jari telunjuk dengan sendirinya menekan angka empat dan nol bergantian. Tak sampai sepuluh menit kemudian, Renjana sudah sampai di lantai tertinggi Sentraya Building. Hanya ada berbelas-belas ruang arsip tempat menyimpan data dari beberapa anak perusahaan Sentraya Group yang berkantor di gedung ini. Sentraya Cipta Mandiri salah satunya. Namun bukan pada salah satu ruang arsip yang ada di sana tujuannya, melainkan pada lorong yang membawanya pada tangga darurat yang akan membawa ke rooftop gedung.
Tidak seperti rooftop hotel, rooftop Sentraya Building tidak memiliki bangku sama sekali. Ada sebuah helipad di tengah-tengah yang hanya digunakan untuk keadaan darurat. Beberapa sisinya kosong atau dihuni oleh barang-barang usang yang tak lagi digunakan. Kakinya kemudian membawa Renjana menuju sisi barat, tempat beberapa meja kubikal kuno teronggok.
Suara ketukan heels dengan lantai sangat terdengar melengking di antara deru angin. Dari ketinggian seperti ini suara deru mesin ataupun klakson kendaraan hampir tersamarkan oleh kencangnya angin. Namun, langkahnya mendadak terhenti saat melihat seorang laki-laki bersandar di salah satu kaki meja sambil mengisap sebatang rokok.
Laki-laki itu juga tengah menatapnya. Adalah Senandika yang petang itu duduk beralaskan selembar kain sambil memandang dinding kawat yang menjadi pengaman rooftop. "Eh, hai," sapanya kikuk sambil mematikan puntung rokok yang masih tersisa beberapa senti.
Renjana sendiri memang baru pertama kali menginjakkan kaki di rooftop ini. Dan ia jelas tidak tahu kalau Senandika menjadikan sudut usang ini tempat kaburnya. Dia pikir tidak akan ada orang yang terpikirkan untuk bersembunyi di balik tumpukan meja sambil menatap dinding kawat. Bahkan di sudut ini pun orang gila tak akan bisa bunuh diri dengan cara terjun saking tingginya dinding pembatas.
"Hai," balas Renjana sama-sama kikuk. "Di ... sini juga?"
"Biasanya kalau lagi penat emang sembunyi di sini sih," jawab Senandika dengan tawa canggung, "justru saya yang mau tanya kenapa mau jauh-jauh ke sini?"
"Saya pikir nggak bakal ada yang mau sembunyi di sini. Eh ternyata."
"Mau sembunyi juga?"
Renjana tidak menjawab. Kencangnya angin yang menerpa kulitnya membuat ia bergidik. Apalagi rok span membiarkan setengah panjang kakinya terekspos untuk dibelai angin.
"Duduk sini, Na," Senandika menepuk tempat di sisinya yang masih tersembunyi di balik meja kubikal.
Meski awalnya sempat ragu, Renjana akhirnya mendekat. Duduk berjarak tiga jengkal dari Senandika. Saat sebuah jas biru navy mampir di pangkuannya Renjana menolehkan kepala. Dengan alis terangkat sebelah, ia menatap Senandika.
"Saya tau kamu kedinginan."
Senandika masih menatap Renjana. Seolah dari tatapan itu ia memerintah Renjana untuk segera menyelimuti kaki jenjangnya yang terekspos. Maka sambil berdeham canggung Renjana gunakan jas tersebut untuk menyelimuti kakinya.
"Ehem."
"Ehem."
Padahal awal mulanya Renjana ingin menghabiskan waktunya sendiri di sini sambil merenung. Namun rupanya dia malah berakhir tanpa suara bersama Senandika begini. Seseorang yang harusnya Renjana hindari di saat-saat sensitif seperti ini.
Karena hari ini seharusnya menjadi tahun ketiga puluh penikahan orangtuanya. Tahun lalu, Renjana masih menghabiskan malam bersama ayah dan ibu. Makan malam romantis di Singapura sambil mendengarkan dentingan piano serta gesekan biola dengan segelas wine pada genggaman. Namun lihatlah betapa menyedihkan malamnya kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Days After We Met
Ficción General"Kenapa kamu bisa sepercaya diri itu kalau saya tertarik? Maaf, saya sudah terlalu hafal permainan-permainan klasik laki-laki seperti kamu. Dan lagi, kamu bukan selera saya." "Maksud kamu apa? Saya pernah lakukan kesalahan sama kamu sampai sebeginin...