4. a piece of unseen heart

9.1K 1K 43
                                    

Deru suara mesin mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah dua lantai dengan desain minimalis. Sebuah rumah bercat putih dipadukan dengan abu-abu di beberapa bagian sudutnya dengan sebuah BMW M3 hitam terparkir di carport dengan rapi.

Swastamita turun dari taksi yang mengantarnya dan segera berjalan cepat sambil menenteng dua tas besar berisi sayur-sayuran dan beberapa camilan ringan. Dari mulutnya tak henti-hentinya keluar lantunan lagu lawas berjudul Kemesraan.

Dan karena sebelumnya sudah mengabarkan kepada sang pemilik bahwa dirinya akan datang, gerbang setinggi dua meter itu dibiarkan tidak terkunci. Swastamita yang hari itu seperti biasa mengenakan celana jeans longgar dan atasan blus kotak-kotak berwarna hijau pupus pun masuk. Mengunci gerbangnya kemudian berjalan ke sepasang pintu rumah yang nampaknya tertutup rapat meski beberapa gorden jendelanya sudah terbuka, memperlihatkan betapa rapinya ruang tamu yang kosong melompong di dalam.

Ceklek! Dengan mudah pula Swastamita masuk tanpa perlu mengetuk lebih dulu.

"Sementara, sinar surya perlahan mulai tenggelam. Suara gitaaarmu,  mengalunkan melodi tentang cinta. Ada hatiii, membara erat bersatu. Getar seluruh jiwa, tercurah saat itu."

Selaras dengan nyanyiannya, ia bergerak gesit menata sayuran ke dalam lemari es dua pintu. Pun juga dengan beberapa kemasan camilan berakhir di lemari kabinet atas.

"...inginku kenang selalu. Hatiku damai, jiwa--"

"Tau banget, kalau ada cewek nyanyi pasti kamu yang dateng."

Dan Swastamita pun menoleh ketika mendengar suara yang begitu syahdu masuk ke telinganya. Ia tersenyum lebar melihat seorang laki-laki dengan setelan rumah--celana pendek hitam dan kaos hijau army polos--dan seekor kucing persia berwarna oren di gendongannya. Dengan riang Swastamita mendekat dan menggaruk-garuk kepala kucing yang tengah bermanja-manja dengan tuannya itu. "Piko! Piko!" serunya pada kucing persia yang sekarang sudah diturunkan dan berjalan malas menuju ruang tengah.

"Kamu mau masak apa lagi?"

"Aku lihat di lemari ada semur ayam. Jadi kayaknya aku nggak masak deh, Ka."

Senandika, lelaki yang sekarang menilik isi kulkas yang kembali ramai itu membalas, "Iya tadi Mbak Suti ke sini masak semur ayam."

"Aku bikin onion ring aja gimana? Mau nggak?"

"Terserah kamu deh." Mengambil satu buah apel, Senandika pun duduk di kursi bar di dapurnya.

Tak butuh waktu lama, Swastamita yang telah menyimpan tasnya di sofa ruang tengah pun hadir kembali dan sedang memakai celemek hitam miliknya yang sengaja ditinggalkan di rumah Senandika setelah menyerahkan ponsel pada laki-laki yang sibuk menggigit apel itu.

Suara Iwan Fals yang tengah melantunkan lagu Kemesraan pun mengalun mengisi setiap sudut dapur setelah Senandika menyetel lagu tersebut dari ponsel Swastamita. Sedangkan Swastamita sibuk mengupas tiga buah bawang bombay kemudian memotongnya sedemikian rupa sampai membentuk sebuah lingkaran yang bolong di tengahnya, serupa cincin namun dalam ukuran besar.

Perempuan itu dengan cekatan membagi tepung ke dalam dua wadah, membumbuinya dengan garam dan penyedap rasa kemudian mencampur salah satunya dengan air. Tak butuh waktu lama, wajan pun sudah nangkring apik di atas kompor listrik. Selang beberapa saat suara sesuatu yang dimasukkan ke dalam minyak panas pun terdengar nyaring. Dan seolah sudah hafal dengan suara itu, Senandika sama sekali tak terusik dan tetap memainkan ponsel milik Swastamita yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Perempuan itu memang selalu gesit dan cekatan jika bekerja di dapur.

"Aku habis ditawarin rumah masa, Ka, sama temenku."

"Kok bisa? Bukannya kamu nggak kepengin beli rumah dulu ya?" Senandika menjawab tetapi matanya masih membaca sebuah berita ekonomi bisnis dari ponsel di genggamannya.

Days After We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang