"Americano satu ya, Mbak. Take away. Atas nama Dika."
"Baik, Kak. Totalnya 38 ribu ya. Mau bayar tunai atau ka--ah, iya."
Senandika menunggu sampai kartu debit miliknya approve. Tak sampai satu menit, ia menerima kembali kartu debit berserta struk miliknya. Segera keluar dari antrian untuk memberikan pembeli lain giliran.
Yang tidak Senandika sangka adalah seseorang yang rupanya mengantri tepat di belakangnya. Laki-laki dengan jas navy blue melapisi polo shirt berwarna putih. Namun, tak hanya Senandika yang terkejut, Merakai saat bertemu tatap dengan Senandika pun juga ikut terperanjat. "Woi," sapanya canggung.
Senandika balas mengangkat tangan kirinya, sama canggung. Ia menunggu Merakai menyelesaikan transaksi. Dan ketika lelaki berpakaian rapi itu berbalik, Senandika menghentikan langkah. "Bisa bicara nggak, Kai?"
Merakai tak segera menjawab. Mulanya ia menelengkan kepala dengan kedua alis terangkat. Bahkan tangan yang hendak memasukkan dompet ke saku jas bagian dalam pun ikut terhenti.
"Ya kalo lo nggak sibuk sih," tambah Senandika kikuk mendapati respons dari Merakai.
"Oke. Sambil nunggu kopi gue jadi. Di sana?" Mantan kekasih Renjana menunjuk salah satu meja kosong terdekat.
Siang itu, Senandika yang baru saja selesai makan siang bersama kawan karib semasa menuntut pendidikan master mampir ke sebuah coffe shop. Niat hati hanya ingin mampir sebentar membeli americano, namun siapa sangka ia malah bertemu Merakai di sini. Orang yang ingin sekali ia temui tapi sama sekali tak memiliki akses untuk menghubunginya.
Sebelum membuka suara, terlebih dahulu ia berdeham. Dan ketika hendak membuka mulut, nama beserta nomer antriannya disebut oleh pegawai coffe shop di balik counter. "Gue ambil kopi dulu," katanya.
Setelah ia kembali duduk di hadapan Merakai, giliran nama Merakai yang dipanggil.
Baru setelah keduanya sama-sama menggenggam gelas kopi yang disimpan di dalam paper bag, Senandika bisa membuka suara.
"Gimana kabarnya?"
Merakai terkekeh. "Baik. Lo?"
"Not too bad."
Senandika tak tahu apakah Merakai mengetahui permasalahan antara ia dan Renjana atau tidak. Lagi pula tujuannya berbicara dengan lelaki ini bukan untuk permasalahan itu.
Tetapi Merakai keburu membuka suara. "Pasti gara-gara Rena ya?"
Senandika hanya bisa terperangah. "Lo ... tahu?"
Merakai kembali terkekeh. "Ya jelas tahu lah. Urusan itu berkaitan juga sama mantan gue. Ya kali gue nggak tau apa-apa."
Kenyataan lain yang membuat Senandika terperangah. "Kalian putus?"
Raut wajah Merakai berubah sendu. Ya meski sejak awal pun tidak ada aura keceriaan yang menguar darinya. Tapi setelah Senandika bertanya begitu, wajahnya kian masam.
Merakai hanya mengangguk.
"K-kai, gue nggak tau alasan lo sama Renjana putus kenapa. Cuma gue rasa, gue harus jelasin ini ke elo. Ya meskipun udah sangat terlambat. But, we know each other in good way, gue nggak mau aja ada hal-hal mengganjal diantara lo sama gue."
Lelaki di hadapan Renjana tidak merespons. Dia hanya menautkan kedua telapak tangannya di atas meja dan menatap Senandika begitu lekat.
"First thing first, gue mau mengakui kalau gue emang suka sama cewek lo ... pada saat itu! Ya awalnya gue nggak tau sih dia udah ada lo. Makanya waktu itu gue emang rada annoying gitu ke dia. Deketin lah, ngajak makan sianglah, pulang bareng lah. Gue mau minta maaf soal itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Days After We Met
General Fiction"Kenapa kamu bisa sepercaya diri itu kalau saya tertarik? Maaf, saya sudah terlalu hafal permainan-permainan klasik laki-laki seperti kamu. Dan lagi, kamu bukan selera saya." "Maksud kamu apa? Saya pernah lakukan kesalahan sama kamu sampai sebeginin...