Kanvas yang terbentang lebar sudah penuh dengan coretan-coretan cat beragam warna dalam pola tak beraturan. Namun anehnya, meski tak beraturan, coret-coretan itu begitu sedap dipandang mata. Tak jauh berbeda dengan rupa kanvas, wajah dan tangan Arantika pun sama kotornya. Ada warna oranye yang salah alamat dan malah mendarat di kening mulusnya. Beruntung, poni yang biasanya jatuh di dahi sudah Arantika jepit sehingga surai indahnya tidak terkotori oleh cat.
Tangannya terulur untuk meraih tube cat lain. Dengan serabutannya Arantika menuang cat berwarna merah ke atas pallet sampai cairan kental tersebut mengotori celemek cokelat yang ia pakai. "AAAW!"
Mendengar pekikan Arantika, sesosok laki-laki melongok dari daun pintu. "Ada apa?" tanyannya khawatir.
Dengan tangan kanan memegang kuas besar dan tangan kiri menggenggam tube cat yang sudah meleleh isinya sampai menetesi lantai, Arantika menyengir lalu mengacungkan tube cat yang pecah karena terlalu kasar ditekan. "Pecah, hehehe," jawabnya sambil menyengir.
Lelaki di ambang pintu itu memutar bola mata. Dengan sodet di tangan kiri ia menunjuk Arantika. "Hati-hati dong, Yang." Setelah mengucapkan itu, Arantika kembali ditinggalkan sendirian.
Dan perempuan yang ditinggalkan pun kembali fokus pada mahakaryanya. Hampir satu jam setelahnya, Arantika baru melepaskan celemek yang melapisi badan bagian depannya sambil menatap kanvas di hadapan dengan pandangan puas. Senyum lebar tersungging di bibirnya. Lalu, "MAAAAS!" teriaknya.
"Apa sih?" Lelaki yang dipanggil tergopoh-gopoh datang. Berkebalikan dengan Arantika, lelaki itu mengenakan celemek hitam dan masih membawa sumpit di tangan kanannya. "Ada apa lagi?" tanyanya sewot.
"Liat deh."
"Loh." Lelaki itu mengangsurkan sepasang sumpit pada Arantika dan mendekat pada kanvas yang sudah penuh dengan cat. "Kok jadi bentuk wajahku gini, Yang?"
Arantika tersenyum manis. Ia membentuk tanda v dengan telunjuk dan ibu jarinya lalu meletakannya di bawah dagu. "Siapa dulu dong yang bikin, seniman Ara!"
Mencibir adalah hal yang kemudian lelaki itu lakukan. Direbutlah sumpit dari tangan Arantika dan segera berlalu keluar dari studio milik Arantika. Perempuan yang ditinggal jelas tak mau kalah. Setengah berlari ia mengejar. "Kamu masak apa, Mas?"
Yang ditanyai hanya diam dan mulai sibuk mengaduk pasta dengan saus carbonara di teflon. "Maaaas," rengek Arantika, "ih, sok-sok cuek. Padahal tadi siapa yang semangat banget lihat lukisan aku."
"Carbonara, Araaa. Kan tadi malem kamu bilang pengin makan carbonara buatanku."
Senyum kembali terbit di wajah Arantika. "Habisnya carbonara buatan kamu lebih enak dari buatanku, Mas."
"Ya kamu mah nggak bisa masak."
"Salah sendiri nikahin aku," balas Arantika.
"Salah sendiri mau aja aku ajak nikah," balas yang lain tak mau kalah.
"Ih, jahat."
"Mau makan nggak nih."
"Mau dong! Siapa sih yang mau nolak carbonara buatan Merakai," ujar Arantika.
Kemudian, ia melingkarkan lengannya di pinggang Merakai. Melepas simpul yang mengikat tali celemek di belakang tubuh Merakai. Perlahan dengan gerakan lembut, ia lepaskan celemek tersebut. Dan dengan begitu saja, perdebatan kecil yang tadinya saling dilempar kembali berganti dengan suasana romantis, sesaat setelah Merakai merangkul perempuan mungil di sampingnya dan membawa ke sofa di ruang tengah. Tentunya sambil membawa teflon berisi pasta di tangannya yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Days After We Met
General Fiction"Kenapa kamu bisa sepercaya diri itu kalau saya tertarik? Maaf, saya sudah terlalu hafal permainan-permainan klasik laki-laki seperti kamu. Dan lagi, kamu bukan selera saya." "Maksud kamu apa? Saya pernah lakukan kesalahan sama kamu sampai sebeginin...