Sambil mengemudikan mobil menuju Hotel Alila tak jauh dari kawasan Sentraya Building, Senandika memutar kembali perbincangan singkatnya dengan Renjana. Perempuan itu nampak berbeda jika Senandika tidak salah. Terlihat lebih emosional dan sedikit di luar kendali. Lalu ingatan saat ia mengatakan bahwa Renjana lah yang lucu berhasil membuat dirinya gundah. Senandika sudah memantapkan pada dirinya sendiri untuk tidak lagi berharap lebih pada Renjana. Ciuman mereka malam itu--yang tidak diingat oleh Renjana--adalah sebuah kecelakaan yang tak perlu diingat. Karena sejatinya seperti itu seharusnya ia bersikap sejak awal. Untuk tidak mendekati Renjana. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Senandika hanya bisa mengontrol dirinya untuk tidak lagi mengacaukan hubungan Renjana--lebih tepat untuk tidak mengacaukan hatinya.
Swastamita yang berada di sebelahnya tidak membuka suara. Sahabatnya yang ia jadikan pelarian ini masih bungkam sambil memilin jari jemarinya dan menatap kemacetan jalanan Jakarta lewat kaca mobil.
"Ta," kata Senandika memecah keheningan.
Swastamita yang malam itu mengenakan rok megar di bawah lutut berwarna hitam, blus hitam dengan aksen brokat di bagian pundak yang dimasukkan ke dalam rok menoleh ke sebelah kanannya. "Iya?"
Senandika mengulaskan sebaris senyum. Mata hangatnya menatap Swastamita teduh selama beberapa saat baru kemudian membelokkan mobil ke kawasan Hotel Alila. "Hari ini kamu nggak perlu masakin buat makan malam kita."
"Maksudmu, kamu yang bakal masakin aku gitu? Tapi kenapa kita malah ke hotel sih?"
"Lebih tepatnya aku yang menyediakan makanan buat kamu."
"Hah? Apaan sih?"
Ia membawa Swastamita langsung naik menuju lantai 25. Tempat di mana Senandika sudah memesan satu meja di restoran fine dining di sana.
"Ka."
"Hm." Senandika menarikkan satu buah kursi untuk Swastamita.
"You don't have to bring me here," ujar Swastamita.
Senandika tidak menanggapi. Ia hanya tetap tersenyum dan mengambil tempat duduk di depan Swastamita.
Setelah sempat diinterupsi oleh buku menu selama beberapa menit, Senandika akhirnya memiliki waktu untuk berbicara dengan Swastamita berdua saja.
"Gimana? Bagus kan tempatnya? Bisa lihat Jakarta dari lantai 25. Kapan lagi, kan? Kamu biasanya kerja di lantai bawah melulu," ujar Senandika.
Swastamita mengangguk. Mengeluarkan ponsel pintarnya dan mulai membidik sudut-sudut kota Jakarta dengan kamera ponselnya. Sebagai orang yang menghargai dunia fotografi, tempat seperti ini jelas tak bisa dilewatkan oleh kamera Swastamita.
"Kamu sendiri nggak bosen tiap hari lihat yang beginian? I mean kantor kamu aja di lantai 32, Ka."
Senandika tergelak. Benar juga ucapan Swastamita. Pemandangan menakjubkan megapolitan Jakarta dari ketinggiana akan terlihat biasa saja karena kian sering dipandangi, tetapi, "Nggak ada yang bisa bikin bosen dari Jakarta, Ta. Apalagi ini kan beda. Aku bukan lagi kerja, tapi lagi sama kamu."
Swastamita menghentikan gerakannya yang sedang membidik sudut restoran. Ia menurunkan kamera ke atas meja dan menatap Senandika dengan tatapan lekat. Baru saat itulah Senandika menyadari ada semburat merah muda di pipi Swastamita Jika ia tak salah lihat karena penerangan restoran yang tidak cukup terang. Apalagi setelah itu Swastamita segera mengalihkan pandangan dan terus berdeham canggung.
Reaksi itu bukankah sama dengan reaksinya beberapa saat lalu saat ia salah tingkah kepada Renjana? Apa itu artinya Swastamita--
"But seriously, Ka. Kamu nggak perlu bawa aku ke tempat begini. Beuh ini pasti mahal banget. Kayaknya bisa habis satu juta lebih deh buat makan dua orang doang." Sebagai orang yang bergelut di bidang food and beverage hotel jelas Swastamita tau tempat seperti apa yang sedang mereka kunjungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Days After We Met
General Fiction"Kenapa kamu bisa sepercaya diri itu kalau saya tertarik? Maaf, saya sudah terlalu hafal permainan-permainan klasik laki-laki seperti kamu. Dan lagi, kamu bukan selera saya." "Maksud kamu apa? Saya pernah lakukan kesalahan sama kamu sampai sebeginin...