"Desi?"
"Lo sendiri, Na, yang bilang lo sama Senandika nggak ada apa-apa. I believe in you eventhough I've seen you kissed him--"
"Desi!"
"Wait ... what?! You kissed him? You never told me about that. Jadi it's not just a romor makanya lo niat banget sebarin ini ke kantor?"
"Apa?!"
Renjana sungguh tak menyangka kerumitan akan datang sepersekian jam setelah rumor tentangnya dan Senandika tersebar. Lihatlah betapa garangnya ekspresi wajah Desi setelah mendengar ucapan Adam begitupun sebaliknya.
"Jelasin nggak, Na?!" teriak dua orang tersebut kepada Renjana hampir bersamaan.
Padahal Renjana hanya ingin tidur di sela istirahat makan siangnya ini. Namun nampaknya itu semua hanya ada di dalam angan. Renjana menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. "I will. Tapi satu-satu please." Ia menatap Adam. "Can you just leave us alone? Gue bakalan jelasin apapun yang lo mau tau nanti."
"Tapi--"
"Dam, please. I owe you a lot. Gue nggak mungkin ingkar janji."
Entah. Renjana juga tak begitu yakin dengan ucapannya. Yang pasti menangani Desi yang sudah di puncak emosi jauh lebih penting dibandingkan Adam yang bisa me-redeem emosinya sendiri.
Sepeninggalan Adam, Desi menyeret kursi dengan kasar dan mendudukinya. Tangannya bersidekap di dada dan matanya menatap Renjana tajam. "Tell me everything about your damn plan," ujarnya dengan sama tajamnya.
Renjana yang tadi sempat berdiri kini mendudukan diri kembali. Menimang-nimang haruskah ia mengatakan segalanya kepada Desi. "Well long story, but I try to make it fast, gue capek. Lo tau semua cerita tentang Ayah. Gimana Ayah diberhentikan dan kemudian meninggal. You know everything. Lo juga pasti tau siapa yang laporin ayah ke bokap lo. This man. So ya, I just wanna ... balas dendam. You can call it like that." Renjana rasa cukup. Ia tidak perlu mengatakan apa langkah yang selanjutnya akan dia ambil. Meski besar kemungkinan Desi akan memandangnya dengan cara yang berbeda dari sebelumnya atau mungkin berbalik membencinya.
Desi menggeleng tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. "Jadi dulu lo minta ke gue untuk tunjukin yang mana namanya Senandika and you said gue sama dia bakal punya urusan sepertinya adalah ini? Hah? Untuk memuaskan your fucking dendam itu?"
"Your fucking dendam lo bilang?! Lo nggak pernah ada di posisi gue, Des!" Renjana berdiri dan menggebrak meja. Ia sudah tak peduli jika di luar sana akan ada yang mendengar perdebatan mereka. "Lo nggak pernah tau gimana rasanya lihat ayah lo sakit-sakitan karena dipecat dari perusahaan yang udah dia bangun pakai keringat dan usaha. Lo nggak pernah tau gimana rasanya nggak ada di samping ayah lo ketika ayah lo di detik-detik terakhirnya. And you said it's fucking? Semua ini nggak akan terjadi kalau Senandika nggak kasih berkas itu ke Om Handoko, Des."
Desi ikut berdiri. "Gue tau gue nggak pernah berada di posisi itu. But it's not that simple, Na. Belum tentu Senandika beneran bersalah di sini. Dan cara lo balas dendam itu sampah tau nggak. Kalau lo mau balas dendam ke dia. Pakai cara elegan lah. Dengan prestasi lo. Lo keluar dari sini, build your own company. Hidup dengan bahagia karena itu adalah balas dendam yang sesungguhnya.
"Na, Dika itu juga temen gue. He's a good friend. Dan lo yang temen gue sendiri malah melakuan hal semacam ini ke dia? Maksud lo apaan sih, Na?! I'm gonna tell him."
"Nggak, Des." Renjana yang sempat mematung langsung menahan siku lengan kanan Desi. Menatap Desi dengan tatapan memohon. "Hate me whatever you want. But don't tell him about this. It's between me and Senandika. Lo nggak ada urusan apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Days After We Met
Fiksi Umum"Kenapa kamu bisa sepercaya diri itu kalau saya tertarik? Maaf, saya sudah terlalu hafal permainan-permainan klasik laki-laki seperti kamu. Dan lagi, kamu bukan selera saya." "Maksud kamu apa? Saya pernah lakukan kesalahan sama kamu sampai sebeginin...