34. it's family matters

5.4K 754 64
                                    

Bersama satu buket bunga mawar putih di tangan kanan dan satu lembar kain yang dilipat sedemikian rupa berada di tangan kiri, Renjana menyusuri jalanan diantara gundukan-gundukan tanah yang mayoritasnya sudah berlapis keramik. Kacamata hitam dan masker yang ia gunakan berhasil melindungi wajah dari silaunya sinar matahari serta topi baseball yang ada di atas kepala berhasil melindungi kepalanya dari sengatan panas.

Ia berhenti di salah satu gundukan tanah bertuliskan nama sang ayah. Berdiri di sebelah gundukan tanah itu, Renjana tersenyum tipis. Ia menunduk untuk menggelar kain yang ada di tangan kirinya, kemudian duduk di sana, menghadap nama sang ayah.

"Hai, ayah," sapanya pada angin kosong di depannya. "Ayah gimana kabarnya?" Tidak ada yang menjawab. Hanya ada desingan suara motor terdengar samar dari arah jalan.

Renjana meletakkan buket bunga mawar putih di atas kuburan sang ayah kemudian melepas masker dan kacamata lalu meletakkannya ke dalam tas. Dari dalam tas, Renjana mengeluarkan foto berbingkai. Foto dirinya bersama sang ayah di Candi Borobudur. Foto yang diambil ketika Renjana menginjak umur sepuluh tahun. Itu adalah pertama kalinya ia datang ke Candi Borobudur bersama sang ayah.

Dengan kaki bersila dan foto dalam pangkuan, Renjana menatap kuburan sang ayah dengan tatapan sendu. Lalu mulailah ia berdialog dengan kehampaan. Seolah-olah ia tidak sedang duduk sendirian. Seolah-olah ada ayah yang duduk di kain yang sama dan mendengarkan ocehannya.

"Kali ini Renjana datang sendiri, Yah. Karena Renjana pasti nggak akan bisa ngomongin apa yang akan Rena omongin nanti kalau ada Ibu di sini? Ayah apa kabarnya?"

"Ada banyak hal yang mau aku ceritain ke ayah. Semoga Ayah mau dengerin cerita Renjana ya. Ayah tau kan kalau Renjana sekarang udah kerja di perusahaan ayah? Iya, Yah, SCM yang dibangun sama ayah, yang akhirnya buang ayah begitu aja. Renjana berhasil, Yah, berhasil bikin orang-orang yang menjebak ayah dapat balasannya. Se--" suaranya tercekat oleh air ludahnya sendiri. Dadanya sesak ketika hendak mengucapkan nama Senandika. Seolah-olah tubuhnya saja melarangnya mengucapkan nama itu. Kilasan-kilasan kejadian seminggu ini mengisi otak Renjana. Semuanya, termasuk pengakuan Bakti Wijaya beberapa hari yang lalu.

"Pasti Ayah bahagia kan lihat Renjana akhirnya bisa mencapai tujuan Renjana masuk ke sana? Aku berhasil balas dendam, Yah, balas orang yang udah jahat sama Ayah. Tapi, Yah," suaranya mulai terasa berat dan serak. Matanya berair. "Tapi kenapa aku nggak merasa bahagia, Yah? Kenapa? Padahal aku udah berhasil balaskan dendamku ke mereka." Kemudian tangisnya pecah. Terdengar begitu pilu dan menyakitkan. Seluruh permukaan pipinya basah oleh air mata. Oleh air mata yang diusap kasar dengan telapak tangan.

"Ayah...," ucapnya di sela isak tangis, "kenapa ayah nggak bilang ke aku kalau bakal sesesak ini? Kenapa Ayah nggak pernah peringatin aku kalau jalan yang aku ambil bukan jalan yang benar? Kenapa, Yah?"

Renjana mendongak ke atas, berharap mendapatkan jawaban dari teriknya matahari. Namun yang kemudian ia lihat adalah cahaya yang begitu menyilaukan lalu gelap dan sunyi. Ia tidak bisa mendengar dan melihat apapun. Seperti berada di ruang hampa, kosong, tanpa ada udara untuk bernapas dan cahaya yang menerangi.

Lalu perlahan Renjana mengedipkan mata. Penglihatannya kembali, ia masih berada di tempat yang sama. Duduk di tengah pekuburan beralaskan selembar kain tipis. Namun kali ini ada seseorang lain yang duduk di hadapannya. Bukan lagi kekosongan.

Tenggorokannya tercekat melihat sosok yang ada di hadapannya. Dengan kaos polo putih dan kacamata berlensa tebal khas yang lama sekali tak Renjana lihat.

"Ayah?"

Figur di hadapannya tersenyum. Begitu manis dan menenangkan. "Kabar Ayah baik, sayang. Renjana nggak perlu khawatir. Ayah ini sudah abadi. Akan selalu bahagia tanpa perlu Renjana khawatirkan. Kalau anak ayah sendiri gimana? Renjana bahagia?"

Days After We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang