35. it's a bit confusing

5.2K 770 80
                                    

Menjadi pusat perhatian adalah makanan sehari-hari Senandika sejak hari di mana Renjana mulai menyebarkan gosip-gosip miring tentangnya. Sudah hari ketiga sejak dia menginjakkan kaki kembali di kantor. Namun tetap saja, tatapan-tatapan mata penuh penasaran itu selalu mengarah pada Senandika. Oleh sebab itu dan salah banyak alasan lain, Senandika melipat satu lembar kertas dan memasukkannya ke dalam amplop putih panjang. Amplop yang di ujungnya bertuliskan tiga kata dalan huruf kapital dengan ukuran lumayan kecil namun cukup jelas untuk dibaca: SURAT PENGUNDURAN DIRI.

Dia melalui banyak pertimbangan. Akan ada banyak sekali alasan jika ia harus menuliskannya satu persatu. Maka untuk menjelaskan ini kepada siapa saja yang nantinya akan bertanya, Senandika hanya akan menjawab bahwa ia sudah tidak nyaman bekerja di Sentraya Citra Mandiri. Namun jauh di dalam hatinya, ia merasa kursi ini bukan tempatnya. Jabatan General Manager yang ia dapatkan setelah menghancurkan nama Barata seolah menyiksanya. Kursi ini bukan lagi kursi yang nyaman, melainkan kursi listrik yang menyakiti dirinya.

Sejak tiga hari lalu, Senandika bekerja tanpa kenal waktu. Demi menyelesaikan semua pekerjaan yang ia tinggalkan selama beberapa hari absen dan mempersiapkan apa yang harus segera ia selesaikan kedepannya. Tepat pukul 11.08 siang, Senandika berdiri dari kursinya. Meraih jas pada gantungan di dekat jendela besar lalu mengenakannya. Mengancingkan dua kancing jas tersebut. Penampilan sudah cukup rapi untuk menghadap direktur utama. Maka dengan segera Senandika meraih surat pengunduran dirinya dari atas meja dan bergegas menuju kantor Hendarto.

"Saya ada di kantor Pak Hendarto. Tolong kalau ada yang mau ketemu atau ada perlu sama saya, kasih tau mereka buat temui saya setelah makan siang," kata Senandika pada Astri, sekretarisnya, yang langsung berdiri gelagapan melihat Senandika keluar dari ruangan.

"I-iya, Pak. Nanti saya sampaikan. Oh iya, Pak, saya dapat pesan dari Pak Bakti, beliau mau bertemu dengan Bapak saat jam makan siang," jawab Astri.

Mendengar nama ayahnya disebut, Senandika mematung. Sejujurnya, sejak hari di mana ibunya bercerita, Senandika belum menemui sang ayah. Ia bingung harus bersikap bagaimana di hadapan sang ayah. "Kabari ke sekretaris Pak Bakti, saya sudah aja janji makan siang." Dan seperti sebelumnya, Senandika selalu menghindar dan mencari alasan. Kali ini mungkin ia akan mengajak Desi makan siang di luar. Dua hari terakhir, Rama dan Aksa sudah ia jadikan tameng atas ajakan makan siang sang ayah.

"Baik, Pak."

Tak ada lagi yang dibicarakan, Senandika melanjutkan langkah. Hanya butuh waktu tak sampai sepuluh menit baginya untuk bisa mencapai lantai di mana kantor Hendarto berada. Ia sempat melewati kantor ayahnya, namun sama sekali tak membalas sapaan sekretaris sang ayah. Senandika hanya melenggang pergi dan berhenti di depan meja sekretaris Hendarto.

Senandika perlu menunggu untuk memastikan Hendarto sedang tidak begitu sibuk dan bisa ia temui. Ketika seorang perempuan muda menemuinya lagi dan membimbingnya menuju sepasang pintu kayu jati yang terlihat begitu megah, jantung Senandika berdebar dibuatnya. Dan ketika pintu itu terbuka, Hendarto yang terlihat gagah di kursi kebesarannya, menatap Senandika datar.

"Selamat siang, Pak."

***

Butuh waktu setidaknya satu jam untuk akhirnya ia bisa menyerahkan surat pengunduran diri tersebut. Rupanya Hendarto sudah mengetahui segalanya. Masalah yang menimpanya dan semua rentetan kejadian di masa lalu. Hendarto pikir, Senandika hanya ingin meminta maaf. Namun ketika Senandika meletakkan surat pengunduran diri di atas meja, mata tua Hendarto langsung berubah binarnya.

"Kamu serius?" Begitulah setidaknya kalimat pertama yang keluar dari mulut Hendarto.

Setelah penjelasan panjang lebar, dari utara ke selatan, akhirnya Senandika mendapatkannya. Sebuah anggukan kepala lemah dari Hendarto yang menjadi tanda bahwa sebentar lagi ia tidak akan menjadi bagian dari perusahaan ini. Ia tidak akan menjadi bagian dari mimpi Bakti Wijaya lagi. Senandika sudah memilih untuk pergi.

Days After We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang