Merakai mungkin orang yang konyol, cukup konyol untuk diragukan bagaimana lelaki itu bisa mencuri hati Renjana--selain karena wajahnya yang rupawan tentu saja, itu dikecualikan--. Tapi Merakai adalah laki-laki penuh dedikasi terhadap pekerjaan dan apa yang dikerjakannya. Menggambar mungkin adalah bakat yang dipunyainya sejak kecil. Dan alih-alih masuk bidang Seni Rupa, Merakai memilih menggeluti bidang arsitektur karena kecakapannya dalam hitung-menghitung.
Renjana selalu suka tiap Merakai tengah berkutat dengan pekerjaannya. Membuat gambar bangunan dengan segala macam alat-alat yang tak begitu Renjana ketahui fungsinya. Memperhatikan gesitnya pergelangan tangan Merakai yang bergerak mengarsir sesuatu dalam lembar kerjanya. Atau ketika Merakai sedang serius membuat maket seperti sekarang.
Rambut ikalnya yang berantakan, kaos putih polos dengan bawahan boxer polos berwarna hitam. Sudah seperti tai cicak. Putih dan hitam.
"Maket apa lagi?" tanya Renjana menjejeri Merakai sembari menaruh sepiring donat kentang dan sekotak susu di meja kecil tambahan berbentuk bulat di samping meja kopi.
"Bukan apa lagi. Tapi ini maket yang mau kutunjukin ke klienku," jawab Merakai masih menekuri potongan-potongan kecil kayu berikut pensil di tangan kanannya yang digunakan untuk mencoret selembar kertas yang ikut meramaikan permukaan meja kopi.
"Kirain buat nambahin isi lemarimu lagi."
Merakai memang mencintai arsitektur. Saking cintanya, dia sampai rajin membuat maket berbagai bentuk kemudian dikoleksi dan dijajarkan pada sebuah lemari kaca di ruang tengah.
"Kai, aku numpang tidur ya. Tadi malem kurang tidur jadinya pusing sekarang," pinta Renjana.
Merakai menghela napas. Melepaskan tangannya dari berbagai perangkat pembuatan maket. Ia tatap sang kekasih dengan tatapannya yang lembut. "Gitu lagi. Tidur jam berapa?"
"Jam tiga, hehe," ujar Renjana meringis.
Maka tatapan Merakai berubah tajam. Tau maksud tatapan Merakai, Renjana segera menjelaskan, "Ada kerjaan gitulah, jadinya baru bisa tidur jam segitu. Terus tadi pagi disuruh nemenin Ibu, terus siangnya kamu ajak ke sini."
"Kamu itu ngerjain apa sih?" tatapan Merakai kembali melunak.
"Ya ada." Menyusun rencana buat balas perbuatan Senandika ke Ayah, Kai.
"Ya udah sana. Aku mau ngelanjutin bikin ini," tutup Merakai mengelus punggung Renjana.
Renjana bangkit dan berjalan menuju kamar Merakai, merebahkan diri ke atas kasur bersprei putih. Karena matanya sudah sangat berat, ia pun jatuh tertidur tak lama kemudian.
Entah berapa lama ia tertidur, tapi begitu Renjana sadar ia sudah berada di taman belakang rumah Ayahnya. Yang lebih mengejutkan lagi, Barata duduk di belakangnya sedang mengepang rambut Renjana.
Renjana sampai-sampai ingin menangis dibuatnya. "A-a-ayah?!" Mata Renjana berkaca-kaca. Perlahan di membalikkan badan membuat kepangan rambut yang belum selesai tersebut terurai lagi karena rambutnya yang kelewat lurus dan licin. Barata, ayah Renjana kini tersenyum dengan wajah teduhnya.
Tangan tua yang keriput itu terangkat untuk mengusap air mata di pipi Renjana. Perempuan yang selalu terlihat kuat itu kini lemah di hadapan sosok sang ayah.
"Jangan, Na. Renjana nggak boleh seperti itu. Balas dendam itu nggak baik. Ayah izinkan kalau kamu masuk ke sana tapi jangan sekalipun berpikir untuk membalas perbuatan mereka. Balas dendam itu diam-diam hanya menggerogotimu dari dalam, Renjana."
"Ta ... tapi, mereka udah jahat sama Ayah. Kan Ayah sendiri yang bilang kalau Ayah nggak pernah melakukan itu. Renjana percaya sama ayah."
Ayahnya hanya menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Days After We Met
General Fiction"Kenapa kamu bisa sepercaya diri itu kalau saya tertarik? Maaf, saya sudah terlalu hafal permainan-permainan klasik laki-laki seperti kamu. Dan lagi, kamu bukan selera saya." "Maksud kamu apa? Saya pernah lakukan kesalahan sama kamu sampai sebeginin...