16. when the sun is down, when the sun is rise

5.7K 638 52
                                    

Ada sedikit revisi di chapter 14 ya, guys. Merakai perginya ke Jogja nggak jadi ke Bali, hehe

***

"Iya. Jaga makan. Tau banget kalau banyak kerjaan pasti kamu males makan, kan?"

Suara tapak langkah Renjana bergema di lorong lantai 12 gedung apartemennya. Kemudian langkah tersebut terhenti di depan lift. Sambil menunggu lift terbuka, ia kembali melanjutkan pembicaraan. "Di sana kan banyak makanan enak."

Ting! Lift terbuka. Renjana melangkah masuk. Hanya ada dirinya seorang di sana. Suara seseorang di telepon terdengar putus-putus namun Renjana tak berniat untuk meralatnya. Entah mengapa mendengarkan suara ceria Merakai di seberang sana tidak begitu membuatnya bahagia. Maka, ketika dia sampai di lobi dan menemukan seorang laki-laki berdiri di dekat sekat batas antara kawasan umum dan kawasan penghuni, Renjana segera berniat mengakhiri sambungan.

"Kai, maaf ya harus aku tutup sekarang. Aku ada urusan. Iya. Bye. Take care ya kamu di sana."

Klik. Ia menutup telepon sesaat setelah Merakai mengucap salam perpisahan.

Melihat kehadiran Renjana, lelaki dengan kemeja putih yang ditimpa sweater hitam itu pun menegakan badannya. "Langsung jalan?"

Renjana mengangguk.

Mereka berdua berjalan menuju area parkir tamu di samping gedung apartemen. Memasuki mobil Pajero hitam yang segera membawa mereka membelah jalanan Jakarta.

"Kita mau ke mana?" tanya Renjana memastikan lagi tujuan mereka pergi.

Pagi tadi Adam mengabarinya lewat pesan yang bertuliskan, ada sesuatu yang mau gue tunjukin. Dan sudah pasti sesuatu itu berhubungan dengan rencana balas dendamnya.

"Pondok Indah."

"Ngapain ke sana?"

"Untuk mengukur seberapa bahaya lawan kita, ya kita harus masuk ke ladangnya dululah."

"Maksud lo?"

"Lo pasti mikirin dong kalau kita nyentuh Senandika udah pasti kita diharuskan nyentuh bapaknya yang hebat itu," jelas Adam.

"Cih, hebat?" decih Renjana meremehkan. Dia tidak akan pernah sudi memanggil tua bangka itu sebagai seseorang yang hebat. "Mending lo jelasin deh rencana lo."

Adam tersenyum sinis. Sepupunya ini memang tak pernah suka basa-basi apalagi memuji musuh. "Gue liat Pak Dika sama lo lumayan deket."

"Kata siapa?!" Mendadak Renjana menaikan oktaf nada bicaranya. Sebelum dia menyadari kesalahannya dan memilih mengalihkan pandangan ke jendela demi menyembunyikan rasa hangat yang menjalar di pipi.

Mendapat reaksi seperti itu membuat Adam makin mengembangkan senyum sinisnya. "Kalo reaksi lo begitu malah makin obviuos tau nggak kalau kalian ada pa-apa. Kai gimana tuh kabarnya?"

"Ini nggak ada hubungannya sama Kai ya!" Jari telunjuk Renjana mengarah pada Adam meski matanya tetap memandang jendela. Nada bicaranya begitu dingin.

Merakai memang seperti angsa bagi Adam. Putih dan bersih. Lelaki itu bahkan tak tahu alasan kekasihnya masuk ke perusahaan yang sudah menghancurkan nama keluarganya. Dan Merakai tak pernah sadar. Merakai tak pernah tau dendam yang Renjana simpan dan segala rencana gelap yang sedang disusun di kepala cantik Renjana. Intinya, Merakai itu angsa. Atau lebih tepatnya bawang kosong. Seorang naif yang menganggap Renjana masihlah perempuan berpendirian teguh, mandiri, dan pekerja keras yang selalu bisa diluluhkan dengan kata-kata manis.

"Simple, Na. Lo deketin anaknya, gue deketin bapaknya. Dengan begitu kita bisa cari kelemahan mereka, memungkinkan juga dapet bukti tambahan, then we go the script. Kasus pencemaran nama baik. Is that enough?"

Days After We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang