18. when the flowers bloom

5.3K 653 26
                                    

Senandika tau Sabtu malam adalah saat yang tepat untuk berkunjung ke club. Menikmati segelas dua gelas minuman beralkohol, mengobrol ngalor ngidul dengan sembarang orang lalu pulang ketika tengah malam terlewat. Maka sepulang dari makan malam bersama ibunya, Senandika membelokkan mobil ke daerah Senopati di mana berbagai macam bar, pub, maupun club berjajar di sana. Pilihannya jatuh pada satu-satunya club yang sering ia kunjungi jika sedang mengalami penat.

Mungkin sudah sekitar satu atau dua bulan ia tidak menginjakkan kaki di sini. Penat jelas menyambangi pundak, tapi waktu tidak mengizinkan Senandika untuk sekadar bersantai bersama satu gelas besar bir.

Ketika ia masuk, suasana club pada pukul sepuluh malam sudah cukup ramai. Suara-suara orang mengobrol di kanan kiri menemani langkah Senandika menuju meja bartander di sisi barat.

"Bir satu gelas dulu ya, Jack," ujar Senandika sesaat setelah duduk di kursi bar.

Bartender yang mengenakan kemeja hitam berlapis apron dengan warna serupa mengangguk. Ia masih meracik pesanan pelanggan sebelum-sebelumnya. "Long time not see, Ka? Life goes well, eh?"

"Lagi sibuk aja gue."

Jack tertawa santai. "Sendiri aja nih? Tumben nggak sama geng ganteng lo."

"Anjay. Pada quality time kali sama pacarnya atau nggak sama bininya?"

"Haha. Lo doang nih yang available jadinya?" tanya Jack sembari menaruh dua gelas minuman ke atas nampan. Selanjutnya seorang perempuan pertengahan dua puluh yang mengenakan kemeja senada dengan Jack segera membawa nampan tersebut dan menyusuri sudut-sudut club.

"Nggak ada yang manggung ya malem ini?" tanya Senandika untuk mengalihkan topik sambil menunjuk panggung di ujung lain ruangan yang kosong melompong.

"Ada ntar jam 11. DJ baru gitu. So, here's your beer. Selamat menikmati."

Senandika benar-benar hanya menghabiskan waktunya seorang diri dengan segelas bir sambil memainkan ponsel selama sepuluh menit awal. Sampai detik setelahnya, dua orang yang Senandika ketahui sebagai penyiar radio beken ibukota naik ke atas panggung dan mulai bercakap-cakap.

Bruk! Seorang perempuan tiba-tiba duduk pada kursi bar kosong di sebelah Senandika. Ia meringis mendengar suara benturan tersebut. "Vodka. Satu," ujar perempuan tersebut sembari mengangkat jari telunjuknya ke arah Jack.

Meninggalkan artikel yang tengah dibacanya di ponsel, Senandika tak bisa tak membuka rahangnya lebar-lebar melihat perempuan di sebelahnya ini. Perempuan dengan dress di atas lutut berwarna biru navy dengan kerah off shoulder begitu menyita perhatiannya. Perempuan yang kini tengah menyandarkan kepala pada lengannya yang terkulai di atas meja bar. Matanya tertutup dengan wajah menghadap ke arah Senandika.

"Renjana?!" ujar Dika sambil menepuk pundak terbuka Renjana pelan.

Yang dipanggil membuka sebelah matanya. Selama beberapa detik mengerjap-erjapkan kelopak, Renjana bangkit dengan sempoyongan bahkan hampir menubruk Senandika kalau saja lelaki itu tidak dengan sigap menahan pinggang Renjana dengan kedua tangannya. "Haaaa, Senandikaaaa!" seru Renjana. Ia sudah kembali duduk di kursinya dan menghadap Senandika. Dengan jari telunjuk yang menunjuk-nunjuk Senandika.

Dari tatapannya, gerak-gerik dan tingkahnya saja Senandika tau perempuan di depannya ini sudah mabuk. Segera ia menoleh pada Jack yang bersiap meracik minuman untuk Renjana. "Berapa banyak dia minum?"

Jack mengerutkan kening. "Dua? Tiga? Empat sama ini?"

"Shit!" umpatnya. Apalagi menatap Renjana yang kini tersenyum-senyum aneh di tempatnya. "No, Jack. Jangan buatin lagi."

Days After We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang