38. day when we have to move on

10.5K 858 114
                                    

Tidak banyak barang yang Senandika bawa ke kantornya. Karena memang beberapa sudah ia pulangkan beberapa hari sebelumnya. Hanya ada satu box berisi buku-buku ataupun beberapa barang perintilan lain. Dan barang terakhir yang ia masukkan adalah papan nama yang sebelumnya selalu terpasang dengan apik dan mengkilap di ujung meja.

Senandika Pratama Wijaya
General Manager

Ia usapi berulang kali huruf-huruf yang menyusun namanya. Mendadak ada haru yang menyeruak. Teringat perjuangannya untuk sampai pada titik ini dan untuk berakhir sampai di sini. Enggan memperpanjang durasi meratapi nasib, Senandika segera memasukkan papan panjang itu ke dalam box dengan posisi diagonal. Hanya dalam beberapa kali sentakan, box tersebut sudah tertutup dengan rapat.

Tepat pukul 17.56 sore, Senandika mengenakan jas serta mencangklongkan tas ranselnya. Baru hendak mengangkat box yang ada di atas meja, pintu ruangannya terbuka. Pertama adalah Rama yang muncul, diikuti Aksa, Desi, Ryan, dan Astri--sekretarisnya yang kini sudah menangis tersedu.

"Kamu kenapa deh, As, something wrong?" tanya Senandika tak mengerti. Ia bisa melihat tisu yang sudah tak beraturan bentuknya Astri gunakan untuk mengusap lelahan air mata di pipi. Sedangkan Rama yang begitu energik sudah beralih ke sebelah Senandika dan mengambil alih box dari tangannya.

"Pak, please, izinin sekali ini aja saya peluk bapak. Saya sedih banget ini, Pak," ucap Astri setelah tangisnya mereda.

Desi menatap Astri dengan pandangan tak percaya. "Astri, please. Mana mungkin Dika mau--"

Ucapan Desi terhenti ketika Senandika melebarkan kedua tangannya. Dan dengan cekatan Astri berlari kemudian berakhir dalam pelukan Senandika. Mantan sekretarisnya itu bahkan memeluk begitu erat, meremas bagian belakang ransel Senandika yang dapat diraihnya.

"Saya pasti bakalan kangen sama Pak Dika. Duh, kenapa sih, Pak, harus resign," racau Astri.

Senandika menepuk-nepuk punggung perempuan dalam pelukannya. "Cup ... cup, jangan kangen saya, Astri. GM yang baru lebih ganteng dari saya lho. Tuh liat, orangnya udah senyam-senyum." Astri mengangkat wajahnya. Mengurai pelukan dari Senandika kemudian berbalik menatap Aksa yang sudah cengengesan.

"Duh, iya sih bener. Tapi tetep aja, sedih Pak Dika harus keluar secepat ini."

Senandika hanya menanggapinya dengan tawa. Setelah Astri undur diri,  ketiga orang yang turut ada bersamanya di dalam ruangan menatap Senandika dengan mata berkerling.

"Ke mana gitu yuk, Ka. Ronde satu kita karaokean, ronde dua joget-joget di dance floor asik juga." Ini sih sudah jelas tawaran tak tau diri dari seseorang bernama Rama.

"Katanya lagi ngeprospekin cewek baik-baik. Masa mainnya di dance floor sih, Ram," timpal Ryan yang segera mengambil tempat duduk di sebelah Desi.

"Ya udah. Terus baiknya di mana? Mas Ryan mau di McD kayak anak SMP? Atau KFC atau BK? Atau AW? Atau Binar Sentika sekalian?" jawab Rama tak mau kalah.

"Ck, udahlah. Lo pada kalau udah ketemu bacot mulu kerjaan," timpal Aksa.

Ryan dan Rama mencibir satu sama lain. Sedangkan Senandika yang masih berdiri di sebelah Rama terkekeh geli dengan tingkah teman-temannya. Lelaki itu mengambil langkah duduk di single sofa, kemudian berucap, "Sorry sorry, apa pun itu yang lagi kalian rencanakan gue nggak bisa ikut. Besok siang gue flight. Belum packing dan siap-siap juga."

"Besok banget?" tutur Desi. Sedangkan Rama segera meletakkan box ke atas meja dengan setengah bantingan. Temannya itu berlari dan berakhir berlutut di sebelah sofa yang Senandika duduki. "Lo ... beneran mau cabut, Ka?" tanyanya.

Days After We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang