Dulu waktu zaman kuliah S1, Renjana pernah punya kekasih. Seorang mahasiswa kedokteran gigi yang rupawan wajahnya. Namanya Ardhi, keturunan jawa tulen dengan darah biru mengalir dalam tubuhnya. Itu sebab, mantan kekasih Renjana ini memiliki tabiat yang baik. Cukup lama mereka berhubungan. Sejak tahun awal kuliah sampai menjelang tahun terakhirnya di kampus. Tau kenapa mereka akhirnya putus? Renjana tidak bisa dealing dengan kesibukan mahasiswa kedokteran tingkat akhir dan Ardhi juga sama-sama tidak bisa dealing dengan kesibukan Renjana pada kegiatan di luar kampus.
Suatu masa, kedua-keduanya yang pernah menjabat sebagai Menteri dan Wakil Menteri pada kabinet BEM tahun sebelumnya diundang untuk datang pada acara peresmian pengurus baru kabinet BEM. Tepat saru bulan setelah hubungan itu berakhir. Dan sebagai mantan pasangan Menteri-Wakil, nama Ardhi dan Renjana selalu dikait-kaitkan. Belum lagi sejarah romansa antara keduanya.
Renjana masih ingat bagaimana gusar perasaannya hari itu. Perasaan tidak nyaman, tidak betah, lalu ingin mengais tanah dan menenggelamkan diri di sana sedalam-dalamnya agar tak lagi terlibat di situasi tidak mengenakkan.
Secara mengejutkan hari itu datang lagi. Selasa sore lebih tepatnya, Renjana yang baru saja selesai meeting di daerah Tendean kembali ke kantor pada pukul lima. Masih ada yang harus ia kerjakan di kantor. Itu sebab dia harus kembali ke Sentraya Building. Alih-alih melangkah menuju lift, Renjana malah melangkahkan kaki menuju Binar Sentika tak jauh dari lobi.
Kopi Toraja dingin pasti enak buat temen lembur, pikirnya.
Baru saja selesai mengucapkan pesanan pada barista yang sore itu bertugas, namanya dipanggil dari arah belakang dengan suara lantang.
"Hai," balasnya menyapa ramah pada Senandika yang duduk sendirian.
"Habis dari mana?" tanya Senandika. Di hadapannya ada satu gelas kopi yang tersisa setengah dan satu piring makanan ringan yang pernah ia pesan ketika berkunjung pertama kali ke sini. Deppa Tori?
"Oh, habis meeting sama orang TV buat besok ngeliput acara ulang tahun perusahaan."
"Oh. Udah fix konsepnya? Eh iya, duduk, Na."
"Kan udah dikirim grand design-nya ke semua divisi kan? Kayaknya bakal seru sih tahun ini. Acaranya lebih ke arah internal SCM dari pada eksternal ke media. Tapi tetap harus diliput sih."
Senandika mengangguk. Lalu menyesap kopinya kemudian mengambil satu buah kue dari piring. "Makan deh coba," ia menawarkan. Sambil mencomot satu buah dari sana, Renjana berpikir. Apa senandika sekesepian itu ya? Ia pernah memergoki lelaki itu hendak makan di reatoran chinesse sendirian dan hari ini? Padahal ada Rama dan Aksa yang cukup akrab dengannya. Dan mereka juga baru makan siang bersama hari kemarin.
"Semangat deh ya, Na. Satu setengah bulan lagi kan acaranya?"
Hanya anggukan yang dapat Renjana berikan karena mulutnya masih penuh dengan makanan. Selesai mengunyah, ia bertanya sambil menahan serat. Duh mana kopinya belum diantar lagi.
"Ini minum kopi saya aja."
"Eh, beneran?"
"Iya. Daripada seret gitu kan?"
"Oke. Makasih, Ka."
"Nevermind," balas Senandika enteng.
Tidak banyak obrolan yang terjadi sampai kopi dalam paper glass diantarkan kepada Renjana.
"Loh, take away?" tanya Senandika lagi.
Lelaki ini memang cukup cerewet dan banyak tanya, pikir Renjana. Ia mengganguk sebagai jawaban. "Mau buat temen lembur sih. Tapi...," ia memperhatikan jam tangan kulitnya, "masih jam segini ternyata. Boleh saya stay di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Days After We Met
General Fiction"Kenapa kamu bisa sepercaya diri itu kalau saya tertarik? Maaf, saya sudah terlalu hafal permainan-permainan klasik laki-laki seperti kamu. Dan lagi, kamu bukan selera saya." "Maksud kamu apa? Saya pernah lakukan kesalahan sama kamu sampai sebeginin...