Lama ya? Ada yang kangen gue nggak?
***
Diarenya belum membaik. Seharusnya ia tidak datang ke kantor hari ini. Wajah pucat, badan lemas, dan berkali-kali menyambangi toilet sudah membuktikan bagaimana buruknya kondisi Swastamita hari ini.
Swastamita adalah satu dari sekian banyak masyarakat megapolitan Jakarta yang memanfaatkan transportasi umum milik pemerintah. Dan dengan kondisi seperti ini, Swastamita tidak yakin sanggup berjalan ke halte busway terdekat, mengantri di sana lalu berdesakan di dalam bus. Apalagi kalau naik kereta. Swastamita yakin dia akan pingsan bahkan sebelum sampai stasiun. Maka dengan hati pasrah, ia menghubungi Senandika. Berharap Senandika sedang tidak sibuk, sedang bisa diganggu, dan sedang bisa dia andalkan.
Hari sudah gelap ketika beberapa orang kantor mulai pergi satu persatu dan Swastamita masih terkulai lemas di meja kerjanya. Ada segelas teh hangat yang sudah mendingin di atas meja yang baru beberapa seruput ia cicipi.
"Ta," panggil salah seorang rekan kerjanya.
Ia menolehkan kepala tanpa mengangkatnya dari atas meja. "Kenapa?" tanya Swastamita. Bahkan untuk membuka suara saja Swastamita rasanya malas.
"Yang jemput lo namanya Senandika ya?" tanya Fathia.
Swastamita mengangguk. Dugaannya, Senandika tertahan di depan. Karena tidak sembarang orang bisa masuk ke kantor manajemen hotel tempatnya berada. "Suruh masuk dong, Fat, bisa kan? Gue deh jaminannya. Dia nggak bakal macem-macem."
Meski awalnya ragu, Fathia akhirnya undur diri dan beberapa menit kemudian kembali bersama seorang lelaki semampai nan rupawan.
"Ta, kamu nggak papa?" Begitulah reaksi Senandika yang dengan paniknya langsung menghambur dan berlutut di hadapan Swastamita. Punggung tangannya mampir sejenak dan merasakan suhu yang cukup panas di dahi Swastamita. "Ya elah, kok bisa sampai begini sih?"
Sungguh, Swastamita ingin menjawab tapi tak mampu. Energinya benar-benar terkuras. Diare benar-benar menyiksanya.
"Masih bisa jalan nggak?" tanya Dika.
"Nggak yakin," jawab Swstamita dengan suara pelan dan hampir hilang karena serak.
Fathia yang sejak tadi menjadi saksi pertemuan dua orang itu ikut angkat bicara. "Gendong aja, Mas. Mita dari jam empat tadi udah lemes gitu bolak-balik toilet. Piggy back?" ujarnya memberi saran.
Senandika langsung mengangkat kepalanya, seperti hendak mengeluarkan protes namun urung dilakukan.
"Em ... kantor udah sepi kok kalau takut dilihatin banyak orang."
Sempat terdiam beberapa saat, Senandika berdiri dari posisi berlututnya. Fathia membantu mengemasi barang-barang Swastamita juga ikut membantu Senandika memposisikan Swastamita pada punggungnya. Perempuan itu bahkan dengan sukarela memencetkan tombol di lift lalu saat sampai di tempat parkir juga ikut membukakan pintu mobil untuk mereka.
Setelah mendudukkan Swastamita dengan nyaman di jok samping pengemudi, Senandika menghadap pada Fathia. "Makasih ya, Mbak, bantuannya. Udah ikut jagain Mita juga di kantor."
Ada senyum canggung di wajah Fathia. "Udah tugas gue kok, Mas. Em, Mita-nya jangan lupa dibawa ke rumah sakit ya."
"Iya pasti."
Mengucapkan pamit, Senandika segera masuk ke dalam mobil dan segera mengemudikannya ke rumah sakit terdekat. Di sampingnya Swastamita duduk bersandar dengan mata tertutup. Tapi dari gerakan bola matanya, Senandika tau perempuan itu tidak sedang terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Days After We Met
Fiksi Umum"Kenapa kamu bisa sepercaya diri itu kalau saya tertarik? Maaf, saya sudah terlalu hafal permainan-permainan klasik laki-laki seperti kamu. Dan lagi, kamu bukan selera saya." "Maksud kamu apa? Saya pernah lakukan kesalahan sama kamu sampai sebeginin...