Renjana datang sedikit lebih pagi hari ini. Ini semua karena ia yang belum sempat mengambil mobil di bengkel dan memutuskan pergi ke kantor bersama Adam.
"Lo udah nemu apa, Dam, tentang kasus Ayah?"
"Belum, Na, lo sendiri?"
Perempuan itu mengedikkan bahu sebagai tanda bahwa ia juga belum menemukan titik terang. Ditambah lagi eksistensi Senandika akhir-akhir ini yang sering mengacaukan pikirannya. Lalu, pintu lift yang sedang ditunggu-tunggu terbuka, Renjana dan Adam pun masuk ke dalamnya. Setelah menekan nomer lantai yang hendak dituju, tak berselang lama pintu baja itu pun tertutup perlahan. Celah yang tersisa makin mengecil ketika sebuah tangan besar menahannya dari luar.
Melihatnya, Renjana yang semula bersandar di tembok lift melangkah untuk menekan tombol agar lift terbuka. Ya ampun, padahal celahnya tinggal kecil banget tadi!
Dan suasana berubah awkward saat menemukan siapa gerangan pelaku penahan pintu lift tadi. Mungkin hanya Adam yang tidak merasakan kecanggungan itu. Dia malah tersenyum sopan pada orang yang masih memaku di depan lift.
"Sudah sehat, Pak?"
Belum sempat menjawab, pintu lift hendak kembali tertutup. Buru-buru Senandika masuk dengan langkah tergesa. Bahkan ketika ia sudah berdiri di depan Adam dan Renjana, nampaknya lelaki itu lupa dengan pertanyaan Adam sebelumnya. Membuat Adam yang semula santai menjadi kikuk.
Sedangkan Renjana hanya bisa terdiam di tempatnya berdiri. Sesekali melirik Senandika yang menjulang di hadapannya atau lewat dinding lift yang memantulkan sosok mereka bertiga. Ia jadi teringat kejadian sore kemarin.
Setelah kecanggungan yang Renjana rutuki dalam hati, Senandika pun melangkah dibantu oleh perempuan yang mungkin Aksa bilang temannya saat makan siang tadi. Wajah Senandika masih pucat ketika ia mempersilakan Rama dan Renjana untuk masuk sebentar. Renjana kalau bisa memilih akan berdiam diri di mobil. Tapi melihat Rama yang sudah melirik-liriknya curiga sejak sapaan canggung tadi membuat Renjana tak bisa berbuat banyak. Ia tak ingin makin banyak spekulasi yang bermain di otak Rama.
Ketika Senandika masuk ke dalam kamarnya yang ada di lantai dua, perempuan yang belum Renjana ketahui namanya menyajikan dua gelas teh manis untuk Rama dan Renjana.
"Mita kan kalau nggak salah namanya?" Ini adalah pertanyaan dari Rama.
Gadis yang dipanggil mengangguk.
"Kenalin, lo belum kenal kan? Ini Rena, dia ... teman kerjanya Dika?" Dan Renjana tak bisa berhenti merutuk saat mendengar nada ragu di bagian akhir kalimat Rama. Kalimat yang pasti menimbulkan spekulasi di otak pendengarnya.
Setelah itu ia memang tak banyak bicara selain saling berkenalan dan kemudian berpamitan tak lama kemudian.
Sekarang, Senandika sudah berdiri di depannya. Masih dengan wajah pucat dan tubuhnya nampak masih lemah.
Ketika Renjana melirik sekali lagi lewat pantulan dinding, rupanya Senandika juga tengah meliriknya. Ia pun buru-buru menundukkan kepala. Jantungnya berdebar tak keruan hanya karena bertemu lirik sepersekian detik dengan Senandika. Lalu Renjana memberanikan diri untuk melirik sekali lagi. Dan sialannya, Senandika sama sekali belum mengalihkan mata dari dinding itu. Alhasil kali ini lirikan mereka kembali bersinggungan. Namun yang berbeda, tatapan Senandika seolah tak mengizinkan mata Renjana berlari darinya. Then, they just keep looking at each other for a while.
Renjana tidak tahan. Dia kembali menunduk kali ini ditambah dengan sebuah guratan senyum tipis di bibirnya. Sedangkan Senandika memilih lebih frontal. Tanpa sungkan ia mengeluarkan suara kekehan renyah yang membuat tengkuk Renjana seperti ditiup sesuatu. Merinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
Days After We Met
Fiksi Umum"Kenapa kamu bisa sepercaya diri itu kalau saya tertarik? Maaf, saya sudah terlalu hafal permainan-permainan klasik laki-laki seperti kamu. Dan lagi, kamu bukan selera saya." "Maksud kamu apa? Saya pernah lakukan kesalahan sama kamu sampai sebeginin...