3-Lee Minho

350 67 6
                                    

Ini pertama kali saya menceritakan sesuatu pakai sudut pandang setiap tokoh.

Kalau bertele-tele kesannya bisa komen dibawah. Kritik sarannya kalau berkenan :)

Saya usahakan up rajin dua hari sekali (tujuan : sebulan Ramadhan cerita ini kelar) doakan saya gak WB T^T

.

[CTRL + C]

.

Meski dia cuma roh, rasanya aku kelewatan juga.

Kalau dipikir-pikir, sejak awal dia sosok yang baik (dan lucu), dia tidak pernah aneh-aneh dan hanya ingin aku menjadi teman bicaranya sesekali. Dia tidak menuntut kalau aku harus ada seperti pengalamanku lalu-lalu.

Hanya saja sifat jahilnya itu membeludak saat aku mengerjainya di awal pertemuan kami. Yah, salahku juga sih.

Dan aku makin merasa bersalah saat aku membentaknya tadi. Hanya karena sepotong kue yang jatuh ke lantai aku bisa-bisanya meluapkan kekesalanku di sekolah kepadanya. Dasar.

Kuputuskan untuk mengingkari janjiku sendiri bahwa aku tidak ingin berurusan lagi dengan para roh. Tapi kali ini kubuat pengecualian. Sosok itu tidak berbahaya untuk saat ini, dan semoga selamanya akan begitu.

"Dasar, nggak usah nangis bombay gitu juga. Mana muka jahil lo biasanya."

Sosok itu terlihat terperangah. Ini kali pertama aku terang-terangan mengajaknya bicara.

"Maaf karena udah bentak-bentak," ucapku sambil membersihkan sisa-sisa krim di lantai.

Tahu-tahu sosok itu memelukku meski pada akhirnya dia terjerembab ke lantai karena tubuhnya menembusku. Aku tertawa puas melihatnya begitu mengenaskan.

"Kakak... mau bicara dengan gue?" katanya dengan mata berkaca-kaca.

"Nggak usah panggil kakak, panggil aja Minho," Aku tersenyum tipis. "Udah seminggu tapi gue belum tahu nama lo."

"Yang Jeongin!"

Aku membuang sisa kue ini ke tempat sampah lalu duduk di depan TV.

"Jeongin?" sosok itu melayang dengan muka hepi dan duduk di sebelahku. "Gue mau korek-korek informasi tentang lo, keberatan nggak?"

"Nggak perlu susah-susah tanya-tanya, gue memang berencana mau cerita sampai berbusa-busa."

"Bagus deh," aku tersenyum. "Kenapa lo repot-repot ngikutin gue?"

"Pertama, hanya lo yang bisa liat gue," Jeongin mengacungkan jari telunjuknya. "kedua, gue gabut, dan ketiga gue mau dekat sama teman lo itu."

Aku mengernyitkan dahi. "Yang mana?"

"Yang bibirnya over, yang ganteng banget itu loh." Err... itu agak... "Iya gue tahu itu rada impossible, atau memang impossible pakai banget. Cuma, ada suatu hal yang mengharuskan gue minimal bisa bilang sesuatu dengannya."

Aku diam, Jeongin juga. "Maaf, bukan bermaksud maksa lo jadi perantara gue atau apapun. Cuma... bilang aja kok."

Ya, seharusnya semua roh memang harus bersikap seperti ini, maksudnya kudu sadar diri kalau mereka sudah tidak ada di dimensi yang sama dengan manusia. Urusan mereka dengan manusia seharusnya sudah berakhir saat mereka menghembuskan napas terakhir mereka.

"Memangnya harus ngomong apa?"

Tapi sialnya, aku tanpa sadar malah menawarkan bantuan kepadanya.

[1] CTRL + C ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang