Yang seperti ini bukan lah lelucon, serius!
Begini, lantaran sudah dua malam aku menginap di rumah Woojin yang super besar menjelma menjadi kotrakan teman-temanku yang datang dengan berbagai latar belakang, kurasa aku harus mempertimbangkan kembali ucapan Woojin mengenai sewa kamar.
Memang, sekarang dia tidak mengungkit soal biaya, tapi aku terus kepikiran kalau terus-terusan menumpang secara gratis.
Tinggal di rumah Woojin sungguh menyenangkan, benar-benar seperti 'itulah rumahku', apalagi bersama konco-koncoku yang bengal tapi memasang tampang alim di depan khalayak agar terhindar dari ocehan guru-guru.
Ya, licik juga mereka.
Selain aku merasa nyaman banget, di sana, makan dan tidurku lumayan terjamin. Pagi-pagi Woojin atau Changbin mengetuk pintu menyuruhku agar bangun. Karena aku tipe yang mudah bangun sebenarnya, aku langsung beranjak dan membuka pintu.
"Wow, kenapa lo? kata Minho lo susah banget bangunnya?" ejek Changbin di hari pertama aku menginap.
Sebenarnya saat tinggal di kontrakan dulu, aku sengaja malas-malasan di kasur lalu memilih pontang-panting ke sekolah, padahal bangunku selalu awal. Entahlah, tapi aku menyukai hal itu.
Tapi saat di sini aku mencoba melakukan hal berbeda. Yaitu langsung bangun dan ikut mengantre kamar mandi yang ada dua.
Namun, pagi ini karena aku bangun atas kesadaranku sendiri, lalu mandi dan membuat sarapan ala kadarnya: roti panggang dengan selai bluberi dan kacang, sembari meninggalkan pesan di kertas sobekan khas buku belakang.
Dinikmati ya, walaupun rada gosong di beberapa lembar roti, soalnya gue buatnya sambil mikirin wajah ganteng gue, hahaha. Gue berangkat duluan mau ngetem di ruang Klub Film.
Maka dari itu setelah melahap tiga lembar roti dan segelas susu, aku langsung berangkat dengan jalan kaki karena lumayan dekat. Kurasa aku kepagian karena belum ada yang datang, ralat, ada tukang sapu depan sekolah.
"Pagi Pak..." kulemparkan senyum cerahku.
Untungnya meski kepagian, gerbang sekolah sudah dibuka. Aku langsung menderap ke tujuanku tadi sambil menenteng Veronicca, kamera sekolah yang sudah kusayang seperti pacar sendiri lantaran seringnya kubawa pulang dengan alasan pemotretan untuk isi majalah sekolah.
Sedang asyik-asyiknya membersihkan Veronicca, lama-lama aku mencium bau yang tidak sedap.
Seperti amis dan juga... bau besi?
Tunggu, besi berkarat pun tidak bakalan mengeluarkan bau besi yang sebegini menyengat bukan? Juga tidak mungkin ada kolaborasi amis juga.
Aku berdiri, meletakkan Veronicca di meja dengan hati-hati. Mataku mengedar ke seluruh ruangan yang dipenuhi dengan alat-alat elektronik dan beberapa kamera, lighting, juga perlengkapan lain.
Dengan mengandalkan hidungku, sambil mengendus-endus layaknya anjing pelacak, aku mendekati lemari yang biasanya digunakan untuk menyimpan koleksi lensa di rak atas, sedangkan kertas-kertas naskah yang pernah digunakan di rak bawah.
Dan oh, sial! Baunya makin menyengat saja.
Layaknya film-film horor, saat aku makin dekat dengan lemari kakiku yang dibalut sepatu murahan merasa lengket, implusku membuatku menunduk ke bawah dan aku nyaris terjungkal ke belakang.
"Ya Tuhan..."
Genangan lengket yang barusan kuinjak adalah darah!
Ya Tuhan... darah itu mengalir dari lemari itu dan ugh, baunya kian menyengat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] CTRL + C ✓
Misterio / SuspensoKepsek kami memberi tugas yang rada aneh, tapi tetap kami lakukan lantaran dihadiahi jam kosong serta keistimewaan lain. Namun, di beberapa ruangan yang sering kami santroni mendadak teman-teman kami tergolek dengan riasan yang bagus banget, seperti...
![[1] CTRL + C ✓](https://img.wattpad.com/cover/222033251-64-k672192.jpg)