"Saat gue keliling dan berakhir di kamar lo, mata kita bertemu. Awalnya gue ragu, bisa saja sorot mata itu nggak sengaja ngeliat sesuatu yang ada di belakang gue, tapi dia menyapa gue..."
Minho tampak terkesiap tidak percaya. Buru-buru aku menyemburkan tawa, seolah-olah masalah ini bukanlah hal yang patut diperpanjang.
"Apa yang lo ingat, tolong bilang semuanya," ucap Minho dengan sorot mata yang sanggup mencekikku. Dia serius dengan ucapannya.
"Ahaha, ingatan gue masih itu-itu aja, belum ada perkembangan."
"Bohong." Jantungku—rasanya seperti—mencelus, ucapan Minho sangat tepat sasaran. "Jangan buat semuanya makin rumit buat diri lo sendiri, dengan cara lo menyembunyian semua hal bukan berarti itu adalah keputusan yang paling tepat, bisa saja timbul bencana karena sikap yang lo buat."
Oke, hatiku sakit sekarang, pasalnya semua hal itu sangat tepat sasaran.
"Gue mengingat semuanya, ah nggak, hampir semua. Masa lalu gue juga kronologi bagaimana gue meregang nyawa."
Minho menunggu dengan sabar.
"Kasusnya hampir sama seperti bagaimana Olivia mencelakai Rachel, di kolam renang. Waktu itu gue ada di pinggir kolam, duduk-duduk di sana sambil ngeliat teman-teman gue main voli air. Meski dekat banget dengan air, mereka nggak ada niatan buat tarik gue ke dalam air untuk main-main apalagi bahan lelucon.
Saat mereka keluar dari air, ada yang mendorong gue, gerakannya begitu natural, bahkan awalnya gue nggak sadar kalau didorong dengan sengaja. Tapi saat gue lihat siapa pelakunya, dia nggak menyesal bahkan khawatir, malahan di tersenyum tipis, kelewat tipis sampai nggak ada satu pun yang sadar kecuali gue.
Senyum itu terlihat puas dan penuh kemenangan. Untuk beberapa saat gue dibiarkan megap-megap di dalam air tanpa ada yang tahu, karena semua teman-teman gue lagi ke ruang ganti berarti menjauhi kolam renang. Hanya ada kita berdua saat itu.
Disaat-saat putus asa gue, sosok itu baru terjun ke dalam air, gue pikir dia menolong gue, tapi nyatanya dia malah menahan gue agar tidak naik ke permukaan. Beberapa detik yang menyakitkan sampai gue dengar suara cowok, rupanya dia kena hukuman membersihkan kolam renang.
Gue nggak ingat pasti siapa cowok itu, hanya saja suaranya begitu mirip Hyunjin, tapi gue ragu, belum tentu itu memang Hyunjin. Dia menjatuhkan jaring buat membersihkan kolamnya, lalu terjun ke dalam air meski dia pakai seragam sekolah dan berusaha menjauhkan gue dari cewek itu.
Mata gue nggak bisa terbuka, rupanya gue pingsan tapi gue sadar benar, tubuh gue dibawa ke pinggir kolam buat pertolongan pertama. Lucunya cowok itu nangis tersedu sambil bilang, 'kakak cantik bangun dong', dan setelahya gue nggak ingat apa-apa."
Air muka Minho tetap sama, dia serius mendengar ceritaku.
"Cewek itu... Yiren?"
"Yep, meski tampang dia waktu SMA tahun pertama dibandingkan sekarang jauh beda—sekarang makin cantik mirip cewek Korea—gue yakin itu cewek yang sama," aku tersenyum getir. "First impressions gue ketemu dia sebenarnya nggak baik-baik amat. Sejak awal dia udah sadar akan keberadaan gue. Mata kami bertemu untuk pertama kalinya, senyum yang dia ulas sama seperti waktu gue jatuh ke kolam."
Aku membaringkan tubuhku dengan paha Minho sebagai alas kepala, kuabaikan raut agak tidak nyamannya. Kuamati lamat-lamat wajah Minho yang dia abaikan beberapa hari ini, rambut tipis mulai bermunculan di area atas bibirnya, rada aneh tapi maskulin sekaligus.
"Seharusnya gue lebih hati-hati sejak awal dengan cewek itu, dan nggak seenaknya ngintilin lo kemana-mana. Maaf, gue ceroboh."
"Nggak, nggak ada yang salah di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] CTRL + C ✓
Mystery / ThrillerKepsek kami memberi tugas yang rada aneh, tapi tetap kami lakukan lantaran dihadiahi jam kosong serta keistimewaan lain. Namun, di beberapa ruangan yang sering kami santroni mendadak teman-teman kami tergolek dengan riasan yang bagus banget, seperti...