tigabelas (2)

51 6 0
                                    

Seorang gadis termenung di sebuah bangku taman, ditemani seorang pria yang duduk di sampingnya.
Wajah gadis itu terlihat murung, tidak seperti biasanya.

"Apa rencana lo? Ibunya udah meninggal, dan lo gak jengukin dia?" tanya pria itu.

"Gue tau, itu pasti sedih banget buat dia. Tapi sekarang, bukan waktu yang pas ngebongkar semuanya. Gue gak mau orang itu nyakitin dia, gue bisa tahan selama ini," kata gadis menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya.

"Lalu apa kabar dengan lo? Selalu jadi bahan buat mereka setiap hari? Nunjukkin wajah fake. Setidaknya lo nengokin ibunya di pemakaman," kata pria itu lalu pergi meninggalkan gadis itu seorang diri.

****

Hari berikutnya, Elena sudah masuk sekolah. Padahal dia masih punya 1 hari untuk tidak sekolah, bahkan Ezra juga sudah menyuruh Elena agar tetap di rumah. Tapi, Elena membantahnya dan memilih sekolah. Akhirnya Ezra mengizinkan dengan syarat Ezra yang akan mengantar jemput.

Elena berjalan santai menuju kelas. Tapi, di Koridor ada beberapa siswa yang mencegahnya. Elena berusaha mengabaikan, salah satu kaki mereka ada yang menendang kaki Elena membuat Elena terjatuh.

"Mampus lo! Oh iya, gue turut berduka cita atas meninggalnya nyokap lo." 

"Gue denger lo itu jadi anak yatim piatu, ya? Ututu kesiannya, hidupnya melarat nggak, tuh?" Mereka meninggalkan Elena yang menahan amarahnya dengan mengepalkan tangannya.

Elena berdiri lalu memandangi tiga orang yang kini berjalan menjauh darinya. Senyuman jahat terukir di wajah Elena.

'Menurut lo, diamnya gue gak akan bertindak saat ada yang ngebully? Oh tidak bisa,' batin Elena.

Saat Chika akan melewati bangkunya, Elena menyandra kakinya membuat Chika terjatuh dan seketika terdengar tawa dari teman-temannya yang lain. Elena pura-pura membaca buku walaupun sebenarnya dia merasakan aura tidak beres dari Chika. Karena merasa kesal, Chika langsung menampar pipi Elena.

"Itu buat lo yang udah berani main-main sama gue, dasar gembel!" ketus Chika membuat Elena berdiri dan menampar pipi kanan dan kiri Chika.

"Itu buat lo yang berani nampar gue dan ngatain gue. Lo gak sebanding sama gue!" kata Elena sinis. Chika yang akan membalas Elena langsung mencari perhatian guru yang sudah memasuki kelas.

"Bu, aduh! Bu sakit pipi saya!" Adu Chika pada guru tersebut.

"Kamu kenapa?"

"Elena nampar saya dua kali, padahal saya hanya mau membantu Elena tadi, tapi dia malah nolak terus fitnah saya Bu."

"Cih! Dasar manja..."gumam Elena.

"Elena, apa benar yang dikatan Chika?"

"Elena tuh anak baik-baik, Elena gak akan gangguin orang yang gangguin Elena. Dan lo, masih kecil ajah udah bohong. Gimana sama orang tua lo yang nggak bisa ngedidik anaknya?" Elena menunjuk Chika tepat di hadapan wajah Chika.

"Elena! Jaga omongan kamu. Sekarang kamu tidak boleh mengikuti pelajaran ibu. Silahkan keluar!"tegas guru itu. Elena mungkin akan menolak, tapi kali ini dia hanya menurut saja dan saat melewati Chika, Elena sengaja menginjak kakinya.

"Elena!"seru guru itu tapi tidak dipedulikan Elena. Sepertinya, jiwa patuh Elena terhadap aturan semakin melemah.

Elena memilih menuju rooftop daripada harus ke tempat lain. Elena menyadari, ini bukanlah dirinya. Elena tidak pernah mancari masalah dan tidak pernah membolos mata pelajaran bahkan tidak pernah dihukum.

Elena duduk sejenak disamping rootop, mungkin orang yang memiliki fobia ketinggian tidak berani seperti Elena. Bahkan beberapa orang pasti mengira bahwa Elena tidaklah waras karena duduk di samping pembatas dengan kaki yang di julurkan ke bawah. Yakin, jika ada orang yang mendorongnya pasti akan langsung terjatuh dan entah bagaimana keadaannya. Elena tidak memikirkan hal seperti itu, yang dia inginkan hanyalah ketenangan.

"Hanya orang waras yang akan ngelakuin hal bodoh."  Seseorang membuat Elena menoleh, terlihat Aiden yang sedang menatapnya dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.

"Paan sih lo!"ketus Elena berusaha mengucilkan Aiden. Elena masih teringat perkataan mendiang ibunya yang menyuruhnya untuk tidak begitu dekat dengan Aiden. Bahkan sampai sekarang Elena sudah lupa yang berniat akan menanyakan alasannya pada Dena. Mengingat ibunya membuat Elena semakin pusing. Bahkan semalaman dirinya tidak bisa tidur nyenyak.

Penglihatan Elena semakin berkunang-kunang. Saat Elena berdiri untuk pergi, dirinya hampir saja jatuh dari lantai tiga jika Aiden tidak segera menangkapnya.

"Elena!" seru Aiden yang menangkap tubuh Elena. Sungguh Aiden hampir saja tidak bisa bernapas saat membayangkan bagaimana jika Elena terjatuh.

Aiden membawanya menuju UKS. Evan yang saat itu akan ke kantin mendadak mengikuti Aiden yang menuju UKS. Sampai disana, Elena langsung di periksa.

"Elena kenapa?"tanya Evan pada Aiden.

"Dia pingsan dirooftop, untung ajah gak jatuh. Kalo jatuh, gue bisa disangka pembunuh. Oh iya, Van. Lo kan deket tuh sama Elena... lo yang jagain dia ajah, ya."Evan hanya mengangguk lalu memasuki UKS. Aiden masih tidak enak karena tiba-tiba sikap Elena berubah.

Evan duduk di samping bangs yang di tiduri Elena. Jika Evan tidak bisa menjaga Elena dengan baik pasti, ibu Dena akan menyalahkannya. Siangnya Elena baru membuka mata. Dilihatnya Evan yang tertidur sembari menelungkupkan wajahnya.

"Kakak Evan?"  Seketika Evan langsung bangun dan menatap Elena khawatir.

"Lo gak kenapa-kenapa,kan?"

"Nggak, kok...tenang ajah. Elena itu strong. Oh iya kak Aiden mana? Bukannya dia yang nolongin Elena, ya? Elena mau bilang makasih sama kak Aiden."

"Iya dia yang udah nolongin lo, lagian lo ngapain ada di rooftop pake duduk di samping gadung. Lo kalo mau mati jangan di sekolah." Elena menunjukkan muka masamnya mendengar perkataan Evan.

Setelah itu Evan dan Elena berjalan menuju kelas. Saat sudah memasuki kelas, Elena yang tak sengaja melihat Reva menggunakan jaket di siang bolong seperti ini membuatnya merasa aneh.

Sepertinya kelas Elena ada jam kosong. Seharusnya pelajaran sudah dimulai sejak 15 menit yang lalu. Tapi, sekarang kelas masih ramai dan belum ada guru yang masuk.
Elena penasaran dengan Reva, dia mendekatinya.

"Eh lo kenapa? Jangan bilang lo salah kostum?"kata Elena sinis pada Reva. Tak sengaja, mata Elena melihat bekas luka di tangan Reva yang sepertinya baru saja dibuat.

Elena menarik Reva keluar kelas, Reva meringis saat Elena menariknya begitu kuat. Reva ingin berontak dan menghentikan aksi Elena, tapi hatinya menolak itu.

"Lo nggak bego setelah temenan sama Chika, kan? Liat! Luka parah gini lo biarin ajah. Emangnya dengan ngebiarin luka bakalan sembuh sendiri? Kulit lo gak ada jaringan pengobatan otomatis jadi nhgak usah sok berlaga!"oceh Elena mengobati tangan Reva yang sepertinya bekas cakaran dan Elena jadi semakin penasaran.

"Lo abis berantem sama kucing apa gimana, sih? Kok lukanya kayak cakaran. Tunggu! Buka jaket lo!"perintah Elena tapi Reva malah menggelengkan kepala.

Dalam hati, Reva tersenyum bisa bersama dengan Elena lagi. Kalaupun dirinya harus terluka lebih dulu, dia rela melakukannya yang terpenting dirinya bisa bersama Elena.

Reva tahu biarpun Elena sadis tapi baginya Elena adalah sosok yang baik. Elena tidak akan pernah melihat orang saat ada yang membutuhkan bantuan. Siapapun itu dia pasti akan menolongnya.

















Elena [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang