Delapanbelas

46 5 0
                                    

Sejak kejadian seminggu yang lalu ketika di cafe, Elena dan Aiden tidak pernah bertegur sapa. Keduanya hanya saling melirik sekilas ketika berpapasan. Mereka kembali seperti dulu yang seolah-olah tidak saling mengenal.

Pernah Elena mencoba untuk menyapa, tapi respon yang Aiden berikan hanya suara gumaman. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut. Karena merasa tidak enak hati, Elena tidak menyapa Aiden untuk yang kedua kalinya.

Selama itu juga sikap Elena perlahan berubah. Gadis yang terkenal dengan sikap bar-bar nya, kini terlihat anggun. Tidak banyak bertingkah dan bersuara.

"Len, kalo kayak gini terus lo bisa sakit hati. Masih banyak kok cowok yang ngertiin lo, Dimas misalnya." Reva sering menghibur Elena, biarpun Elena tidak begitu antusias. Elena mengaku pada Reva bahwa Elena menyukai Aiden. Tapi apa daya Elena yang bukan siapapun di mata Aiden.

"Ogah! Kalo gue deket sama dia terus jadi bolot gimana? Kan nggak mau," kata Elena. Memang selama ini juga Dimas yang sering menemani Elena. Walaupun Elena tidak suka dengan kehadirannya, Dimas merasa bahwa Elena membutuhkan dirinya.

"Emangnya lo deket sama kak Aiden jadi cemerlang, gitu?" Elena menggelengkan kepalanya menanggapi perkataan Reva. Soal Reva yang akan memberitahu Aiden pun langsung di urungkan melihat kondisi antara Aiden dan juga Elena.

Saat istirahat, Reva memilih di kelas menemani Elena. Sejak kemarin Elena tidak ingin pergi ke kantin dengan alasan tidak mau makan. Padahal sudah jelas bahwa Elena tidak ingin  bertemu dengan Aiden.

"Elena!" Teriakan seseorang membuat Elena dan juga Reva terkejut. Bayangkan saja, di kelas sedang hening lalu tiba-tiba ada suara yang begitu nyaring. Elena menatap sebal ke arah orang itu yang kini duduk di hadapannya.

"Lo ngapain, sih?!" ketus Elena. Reva pergi keluar kelas karena tidak ingin melihat kejadian selanjutnya antara Elena dan Dimas.

"Dingooo!" Teriakan Elena sampai keluar kelas membuat Reva meringis. Seperti itulah Elena ketika Dimas datang dan mengusiknya. Bunyi gebrakan meja mengiringi langkah Dimas yang keluar dari kelas Elena. Reva menatapnya dengan kepala sedikit miring, Dimas tidak pernah takut dengan kemarahan Elena, justru malah senang ketika Elena memukulnya.

"Kenapa lo?" tanya Reva melihat Elena yang semakin muram.

"Dingo ngajakin gue pulang bareng, kan gue pulang sama lo." Reva mengerti apa tujuan Dimas, Reva berkata pada Elena bahwa dirinya akan pulang bersama Daren. Elena tidak mau pergi bersama Dimas, tidak mau sama sekali.

Sepulang sekolah, Elena berjalan bersama Reva menuju parkiran. Banyak siswa lain yang membawa sepeda motor, Elena menatap bingung ditengah-tengah orang yang berlalu lalang. Dia bingung harus pulang bersama siapa. Bobi, Elena mencari keberadaan Bobi, tapi tidak terlihat sama sekali. Begitupun dengan Evan, hanya tersisa Aiden dan kawan-kawannya.

"Len, ayo naik." Elena menatap Dimas sekilas, dia tidak ingin pulang dengan Dimas. Biasanya Elena akan meminta Aiden, tapi sekarang mana mungkin Aiden mau mengantarnya. Ada Gani, Elena berpikir bisa pulang bersama Gani, namun Gani membawa temannya.

"Lo kenapa sih ngebet banget pulang sama gue?" tanya Elena.

"Gue mau bawa lo jalan-jalan, ayo naik ajah." Tidak ada pilihan lain selain ikut Dimas. Mau naik angkutan umum, tapi jarak jalan raya menuju rumah Bobi sangat jauh.

Selama perjalanan, Elena dan Dimas saling diam. Namun, mata Dimas terus melirik ke arah Elena melalui spion. Ketika melewati SMA cempaka, Elena melihat Aiden bersama Sasa. Pemandangan yang membuat matanya tiba-tiba perih, serasa ada bawang merah.

Elena menyandarkan kepalanya pada punggung Dimas. Melihat itu, Dimas menarik tangan Elena supaya berpegangan padanya. Elena pun hanya diam saja. Pemandangan itu tidak lepas dari mata Aiden dan juga Sasa. Melihat Aiden yang terus memandangi Elena membuat Sasa kesal setengah mati.

"Aiden! Ayo pulang, tapi kita makan dulu, oke?" kata Sasa. Aiden hanya mengangguk saja tanpa berkata, gambaran Elena yang bersandar pada punggung Dimas masih terlihat jelas di ingatannya.

Sebelum pergi ke tempat tujuan, Dimas membawa Elena makan di samping jalan. Dimas sedikit tidak enak hati membawa Elena makan di tempat seperti ini, tapi bagi Elena itu tidak masalah.

"Lo bawa gue jalan-jalan cuma buat makan ini doank?" tanya Elena.

"Kalo kayak gini sih gue bisa tiap hari ngajakin lo kalo mau. Yang jelas tempat itu ra–ha–si–a." Dimas memakan baksonya. Elena mendengus melihat Dimas yang sok misterius.

Di sebrang jalan tempat Elena makan ada sebuah restoran, dia melihat Aiden dan Sasa yang berhenti di sana. Mendadak selera makan Elena hilang, dia hanya mengaduk mi ayamnya tanpa mau memakan. Perubahan raut wajah Elena diketahui oleh Dimas, dia mengikuti arah pandang Elena.

"Udah kenyang? Kalo udah kita lanjut jalan." Elena meletakkan sendok dan juga garpu, meraih tas yang dia letakkan di kursi samping.

'Sialan lo Aiden, ganggu gue mulu,' batin Dimas.

Menurut Elena, pergi bersama Dimas tidak begitu buruk. Walaupun tidak semewah ketika bersama Aiden, tapi itu membuat Elena bisa membedakan antara Aiden dan Dimas.

Elena menepuk pundak Dimas seraya berkata, "Lo sebenernya mau bawa gue kemana sih? Nggak ada pikiran kawin lari, kan?" Dimas terkekeh mendengar pernyataan Elena.

"Kalo mau kawin lari juga oke, biar halal." Elena mencubit perut Dimas membuatnya meringis.

"Becanda kali, bentar lagi juga nyampe. Lo jangan tidur, motor gue bukan mobil."

Beberapa menit berlalu akhirnya mereka tiba di sebuah tebing. Dimas mengulurkan tangannya membantu Elena untuk mendekat.

"Wow! Indah banget," kata Elena.

"Elenaaa! I love youuu!" Dimas berteriak dengan keras, Elena tahu bahwa Dimas memang menyukainya, hanya saja dia tidak ingin ada kecanggungan.

"Gila lo." Elena menyikut Dimas yang terkekeh.

Dimas duduk di sebuah batu, menatap Elena yang tengah menikmati udara sembari merentangkan tangannya. Dimas tahu, sampai kapanpun dia menyatakan cintanya pada Elena akan berakhir sia-sia. Setidaknya berada di dekat Elena bisa membuatnya bahagia.

"Len, lo pernah nggak sih suka sama orang tapi orang itu nggak pernah nganggap lo?" tanya Dimas. Elena menoleh ke arah Dimas dengan pandangan kosong. Dia tahu seperti apa rasanya, mungkin Dimas juga merasakannya.

Dimas yang melihat perubahan raut wajah Elena langsung mengajak Elena pulang karena hari semakin sore. Selama perjalanan pulang, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Dimas menyalahkan dirinya karena mengatakan sesuatu yang membuat hati Elena tergores. Tapi apa boleh buat? Hatinya tidak kuasa menahan sakit. Elena langsung berpamitan masuk ketika sampai di rumah. Dimas menatap punggung Elena yang lama-lama menghilang dari balik pintu. 













Elena [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang