Duapuluhdua(3)

38 6 0
                                    

Sasa yang biasa di jemput oleh Aiden, sekarang harus menunggu angkutan umum. Dia berdiri di depan gerbang sekolah sembari menengok kanan dan kiri. Sebuah sepeda motor berhenti di hadapannya.

"Mau nebeng?"

"Ngapain sih, lo?"

"Gue nawarin, ayo ikut."

Sasa awalnya ragu, tapi mengingat mereka sudah kenal lama, Sasa langsung naik ke motor. Sasa melihat jalan yang tampak asing.

"Dim, lo mau bawa gue kemana?" Sasa menepuk bahu Dimas.

"Tenang ajah, nggak gue culik. Nanti gue balikin lagi."

Sasa berdecak dan membiarkan Dimas membawanya entah kemana. Jalanan yang sedikit terjal membuat Sasa memeluk Dimas. Mendapat perlakuan itu, jantung Dimas berdetak dua kali lebih cepat.

'Jantung gue kenapa?' batin Dimas.

Baru saja Dimas menghentikan motornya, Sasa langsung turun dan berlari mendekati tebing. Sasa merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara dalam-dalam. Dimas melepas helmnya dan memandangi Sasa sejenak.

Dimas membawa Sasa ke tempat dimana dia pertama kali membawa Elena. Sebenarnya hari ini Dimas akan kembali mengajak Elena, tapi Elena sedang dalam mood buruk dan tidak ingin di ganggu. Dimas sendiri tidak tahu, tapi Reva yang mencegah Dimas untuk bertemu Elena.

"Dimas?! Sini!"

Dimas yang tersadar langsung menatap Sasa dan berjalan mendekatinya. Dimas duduk di samping Sasa di atas batu. Tempat yang pernah Sasa duduki adalah tempat Elena.

"Lo tumben ngajak gue kesini." Sasa menatap Dimas di sebelahnya yang tengah bermain ponsel.

"Nggak apa-apa."

"Seriusan, kita nggak pernah sedekat ini." Dimas menaruh ponselnya dan menatap Sasa.

"Kita sama, gimana kalo kita mencoba saling menyayangi?"

"Maksud lo apaan? Nggak usah jadi sok puitis gitu." Sasa mengambil kerikil dan melemparnya. Dimas menghembuskan napasnya sebelum kembali berkata.

"Sa, cinta kita sama-sama bertepuk sebelah tangan. Lo sama Aiden dan gue sama Elena. Kenapa kita nggak nyoba kayak mereka ajah?"

Sasa mengubah ekspresi wajahnya menjadi masam. Kini dia tahu apa maksud dari Dimas. Sasa tahu seberapa dalam Aiden menyayangi Elena. Jika memang mereka tidak ditakdirkan bersama, sampai kapanpun tidak akan pernah bersama.

"Sa, nggak selalu orang yang lo suka harus balik suka sama lo. Dari yang gue liat, lo itu suka Aiden karena dia ganteng, bukan karena hati. Terkadang sesuatu yang dipaksakan nggak akan berakhir baik. Gue juga ngerasa begitu, Elena tau kalo gue suka sama dia, tapi dia selalu acuh." Dimas menghadap Sasa dan memegang kedua bahunya.

"Suatu saat akan ada orang yang tulus sayang sama lo."

"Ck... Lo ngomong apaan, sih? Udah yuk pulang. Gue takut nyokap nyariin." Sasa berjalan lebih dulu meninggalkan Dimas. Melihat itu, Dimaspun menyusul.

Selama perjalanan pulang, Sasa hanya diam. Sasa mulai memikirkan perkataan Dimas. Baginya tidak ada orang yang dia sayangi selain Aiden. Tapi, mungkinkah dia menyukai Aiden hanya karena tampang? Gara-gara Dimas kata-kata itu terus terngiang di otaknya.

"Thanks."

"Sama-sama."

Dimas sedikit tersenyum, namun keningnya berkerut ketika Sasa tidak juga masuk ke dalam rumah. Terlihat ekspresi ragu di wajah Sasa.

"Kenapa?" tanya Dimas.

"Soal tadi, gu-gue setuju sama lo." Sasa terlihat malu ketika mengatakannya. Dimas pura-pura tidak mengerti dengan apa yang Sasa katakan.

"Maksudnya?"

"Soal kenapa kita nggak nyoba ajah kayak mereka?" Dimas terkekeh sembari mengangguk.

"Ya udah kalo gitu, aku pulang dulu. Dah pacar."

"Nggak usah gitu juga kali. Tiati." Sasa melambaikan tangannya. Sasa bisa bernapas lega pada akhirnya. Dia akan memulai hal baru mulai saat ini.

Sasa memasuki rumah setelah mengucapkan salam. Ibunya tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya yang membuat dia terkejut.

"Ibu?! Sasa kaget tau."

"Tumben pulang bareng Dimas?"

"Dia yang nawarin, ya Sasa terima ajah."

Ibunya tersenyum diiringi anggukan kepala. Ibunya merasa Sasa masih bisa memilih cintanya, melihat Sasa dengan Dimas yang tidak seperti biasanya.

"Sasa? Ibu masuk, ya?" Ibunya mengetuk pintu kamar Sasa.

"Iya, Bu. Buka ajah, nggak di kunci."

Ibunya langsung membuka pintu dan melihat Sasa yang sedang bermain ponsel dengan telungkup. Ibunya menghampiri dan duduk di sebelahnya.

"Ada yang mau Ibu omongin sama kamu. Soal kamu dan Aiden—"" Bu, sekarang Sasa tau kok kalo Sasa sendiri nggak bisa jadi bagian dari hidup Aiden. Suatu saat Sasa pasti akan nemuin orang yang bener-bener tulus." Sasa menampakkan senyuman manisnya.

"Jadi keputusan kamu bagaimana?"

"Sasa dan Aiden juga belum tunangan. Ya itu terserah Ibu ajah. Tapi, lebih baik kayak gini dulu ajah. Lagipula pernikahan itu kan hanya keinginan kakek, sedangkan kakek sendiri ajah udah nggak ada."

"Kamu nggak marah atau kecewa nantinya?"

"Sasa yakin dengan keputusan Sasa sendiri."

"Ya udah kalau gitu, kamu mandi terus makan." Ibunya mengusap kepala Sasa sebelum pergi. Sasa hanya mengangguk sebagai respon. Dia kembali merebahkan dirinya.

***

Elena berusaha untuk masuk ke alam mimpinya, tapi rasanya sangat sulit. Segelas susu sudah Elena minum, bahkan sampai membuat mie instan untuk mengisi perutnya. Elena berguling kesana dan kemari.

"Akh! Kenapa nggak bisa tidur!" Elena membuka selimutnya dan berjalan menuju kamar di sebelahnya. Melihat Bobi yang tidur nyaman, Elena berusaha untuk tidur di sebelahnya.

Elena memejamkan matanya, namun Bobi menendangnya hingga terjatuh ke lantai. Elena mengusap pantatnya yang baru saja mencium lantai.

"Bobi! Sialan lo!" Elena menghentakkan kakinya sebelum keluar dari kamar Bobi. Kini Elena beralih ke arah kamar di sebelahnya yang satu lagi. Elena membuka pintu perlahan. Elena kira Galih sudah tertidur, nyatanya masih bermain ponsel.

"Elena? Lo belum tidur?" tanya Galih.

"Kalo gue berdiri disini, berarti belum tidur. Kenapa harus pertanyaan itu yang keluar? Gue nggak bisa tidur. Kakak sendiri kenapa belum tidur?"

"Gue belum ngantuk, mau gue temenin sampe tidur?"

Elena langsung mengangguk antusias dan berlari kecil ke arah tempat tidur. Galih yang melihat itu lantas tersenyum dan mulai menyanyikan sebuah lagu.

Di rumah Elena, hanya ada mereka bertiga. Elena mendapat kabar bahwa kakek dan neneknya berangkat siang ini. Kemungkinan untuk sampai pasti malam. Jadi, Elena meminta Galih dan Bobi untuk menemani.

Melihat Elena yang sudah tertidur, Galih mendengar suara belum rumah. Buru-buru dia menuruni tangga ke lantai bawah untuk membuka pintu.

"Galih? Bagaimana kabarmu?" tanya Neneknya yang ternyata baru sampai bersama kakek, Ezra, dan juga seorang wanita yang sepertinya tampak familiar.

"Baik, Nek. Mari masuk."

"Dimana Elena?" tanya Ezra.

"Dia baru tidur, terus Bobi juga udah tidur."

"Kenalin ini Catherine, tunangan kakak." Ezra memperkenalkan Catherine yang akan menjadi calon istrinya. Galih tersenyum sembari mengangguk.






Elena [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang