Duapuluhtiga(3)

34 6 0
                                    

Ezra memegang kening Elena yang terasa panas. Buru-buru dia memanggil Catherine untuk membawakan sebuah handuk kecil dan air.  Elena menggeliat ketika keningnya terasa basah. Matanya terbuka menatap Catherine dan Ezra yang duduk di sampingnya.

"Elen, kenapa kamu harus hujan-hujanan? kakak khawatir, kakak sudah memberitahumu jangan membuat ulah di sekolah. Kenapa kamu malah bolos?" kata Ezra.

"Ezra, Elena lagi sakit. Kamu nggak seharusnya marah seperti ini." Catherine memegang bahu Ezra untuk menenangkan. Elena memalingkan wajahnya ketika Catherine menatapnya. Elena tidak suka melihat Catherine karena perasaannya mendadak kesal.

"Istirahat, Catherine akan membawa makanan buat kamu." Ezra langsung pergi setelah mengusap tangan Elena. 

Elena menatap langit-langit kamarnya dengan setetes air mata yang mengalir dari mata kirinya. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana disituasi sekarang. Kepalanya menoleh ke arah ponsel yang berada di atas nakas. Dia lupa tidak mencharger ponselnya sebelum mandi.

Elena bangkit dan tepat saat itu Catherine kembali dengan sebuah mangkuk di tangannya. Catherine yang melihat Elena bangkit langsung mendekatinya.

"Kamu mau ngapain?" tanya Catherine.

"Ngecas Hp," jawab Elena acuh.

Catherine buru-buru mengambil ponsel Elena dan mengecasnya. Dia menyuruh Elena untuk tetap berbaring. Elenapun hanya diam saja, tetapi menuruti perkataan Catherine.

"Kamu belum makan sepulang sekolah. Biar kakak suapin." Catherine menyendok bubur yang ada di dalam mangkuk dan mengarahkannya pada mulut Elena.

"Elen bisa makan sendiri." Elena mengambil alih mangkuk dan langsung makan dengan lahap. Biarpun terasa hambar, Elena tetap memakannya dan langsung menyerahkan mangkuk itu pada Catherine.

Selepas minum, Elena langsung berbaring lagi dan membelekangi Catherine yang belum juga pergi dari kamarnya.

"Elen, Kakak nggak tau kenapa kamu bisa nggak suka sama kakak. Tapi, Ezra benar-benar sayang banget sama kamu. Dia selalu bercerita tentang kamu dan selalu berdoa untuk kamu. Bahkan saat perjalanan pulang, Ezra selalu berkata tidak sabar bertemu denganmu. Maaf kalo kakak terlalu banyak berbicara. Semoga lekas sembuh."

Mendengar pintu tertutup membuat Elena membalikkan posisinya. Dia sendiri memang tidak suka dengan Catherine, tapi bukan berarti dia membencinya. Elena hanya khawatir saja setelah Ezra menikah dengan Catherine, dia akan meninggalkan Elena. Bagi Elena, hanya Ezra lah satu-satunya keluarga dan alasan baginya untuk pulang.

"Ma, Pa. Memangnya Lena salah kalo nggak suka sama kak Catherine?" gumam Elena.

Dilain tempat, Dimas dan Sasa yang terjebak dalam derasnya hujan memilih untuk singgah disebuah cafe. Mereka memesan dua cokelat hangat. Cuaca yang dingin membuat Sasa tampak kedinginan dengan seragam sekolah yang pendek. Dimas mendekati Sasa dan menyampirkan jaketnya.

"Thanks." Sasa berkata sembari tersenyum. Dimas yang melihat itupun membalas senyumannya.

"Sorry, gara-gara gue lo jadi kehujanan."

"Bukan salah lo. Hujan bukan lo yang ngatur, lo sendiri juga kehujanan." 

Hening, tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka. Gemericik hujan menjadi alunan yang begitu menyejukkan. Dimas mendapat kabar dari Daren bahwa Elena menghilang. Raut wajahnya berubah menjadi sedikit khawatir.

"Lo kenapa?" tanya Sasa.

"Nggak kenapa-kenapa, kok sans ajah." Dimas langsung memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. 

"Dim, bahkan orang yang ngeliat lo pasti tau lo lagi sedih."

"Elena ilang. Daren yang ngasih tau ke gue. Katanya Elena bolos dan nggak tau pergi kemana." Pada akhirnya Dimas memberitahu yang terjadi. Sasa pun ikut terkejut dan merasa bersalah atas kejadian beberapa hari yang lalu.

"Gue mau minta maaf sama dia."

"Hah? minta maaf karena apa?" tanya Dimas yang memang tidak tahu kejadian diantara Elena dan Sasa.

"Gue udah ngomong sesuatu yang pastinya buat Elena sakit hati. Gue mau minta maaf juga soal sikap gue yang selalu egois."

Dimas mengerti pembicaraan Sasa, dia memegang tangan Sasa memberinya sebuah kekuatan. Dimas sendiri juga merasa bersalah karena tidak menjaga Elena. Padahal dia pernah berjanji pada diri sendiri untuk menjaga dan melindungi Elena entah seperti apa keadannya.

"Sa, gue cuma mau fokus sama lo ajah. Tolong buat gue ngelupain Elena, supaya gue nggak nyakitin hati siapapun." Sasa mengerjapkan matanya beberapa kali mencerna ucapan Dimas, tanpa sadar pipinya bersemu merah.

"Emangnya gue harus ngapain supaya lo tetap fokus ke gue?" tanya Sasa sedikit malu.

"Buat diri lo selalu ada buat gue. Tapi, lo sendiri tahu gimana kondisi keluarga gue. Ini buat yang pertama dan terakhir...lo mau jadi pacar gue yang sederhana kayak gini?" tanya Dimas. Sasa tidak pernah berpikir seperti itu. Dia benar-benar memandang Dimas sebagaimana dirinya sendiri.

"Dim, jujur ajah...gue nggak pernah mikirin hal tentang lo sampai kesitu. Gue udah nerima lo apa adanya. Gue emang suka sama Aiden, karena waktu itu gue nggak suka liat Elena yang akrab sama Aiden. Sekarang gue sadar, masalah hati emang nggak bisa dipaksakan."

***

Evan, Galih, dan Gani berkumpul di rumah Evan. Mereka menunggu kabar selanjutnya mengenai keberadaan Elena. Evan sempat berhasil melacak dan Elena berada di TPU, kemungkinan besar yang terjadi adalah Elena mengunjungi makan kedua orang tuanya. Namun, setelah itu keberadaannya tidak bisa di lacak lagi.

Galih dan Evan yang sibuk memikirkan Elena, sedangkan Gani sibuk dengan cacing di ponselnya. Berkali-kali Galih menghembuskan napasnya membuat Gani merasa terganggu.

"Lo kenapa, sih? kayak orang bingung ajah. Elena punya keluarga, kenapa nggak tanya kakaknya ajah?" kata Gani.

Evan dan Galih saling berpandangan. Mereka juga sempat berpikir seperti itu, tapi mereka tidak mempunyai nomor kakak Elena.

"Lo punya nomornya?" tanya Galih.

"Lo tanya gue? sejak kapan gue deket sama Elena?" kata Gani terkekeh.

"B*ngke lo," umpat Evan.

"He he, sans. Diantara kalian pasti punya nomor Reva, kan? kenapa nggak tanya dia ajah?" usul Gani.

Lagi-lagi mereka bertatapan satu sama lain. Mereka juga tidak memiliki nomor Reva.

"Kalo Bobi?" Galih dan Evan menggeleng.

"Eh! lo kan sodaranya, masa soadara sendiri nggak kenal!" Gani mendadak sewot pada Galih.

"Kalo gue bilang nggak punya ya nggak punya!" Galihpun ikutan sewot.

"Stop! gue coba hubungin orang." Evan menengahi perdebatan mereka. Dia menghubungi Dina dan meminta nomor Ezra. Evan langsung menelponnya ketika nomor sudah dikirim.

Gani dan Galih hanya memperhatikan Evan yang asik biacara dengan Ezra. Mereka menatap satu sama lain karena tidak mengerti dengan Evan. Jika dia memiliki nomor orang yang dekat dengan Elena, mengapa tidak langsung mengubunginya?

"Gimana, Elena udah ketemu?" tanya Galih.

"Ya, katanya dia pulang sore dan sekarang sakit gegara kehujanan," jawab Evan.

Galih bisa bernapas lega karena Elena sudah pulang. Lagipula Galih pun tahu seperti apa Elena jiak sedang marah. Melakukan sesuatu sendiri dan akan kembali ke jalannya jika hatinya sudah tenang.

Berhubung Evan sudah memiliki nomor Ezra, dia juga meminta nomor Reva untuk memberitahu keadaan Elena.

Elena [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang