Limabelas

50 8 0
                                    

Elena hanya diam memainkan ponselnya di kamar, sekarang dia masih sendirian. Awalnya keluarga Bobi mengajaknya, tapi Elena berkata dia ingin sendiri. Bayangkan saja, di rumah besar seperti ini sendirian. Memang Elena juga sedikit merinding, tapi mau bagaimana lagi. Dia tidak ingin merepotkan Bobi dulu.

Samar-samar Elena mendengar suara yang berasal dari luar kamarnya. Elena meringkuk di atas kasur sembari menutup tubuhnya dengan selimut. Suara itu tidak kunjung berhenti. Elena membuka selimutnya setelah mendengar suara itu.

Dia melihat ada sebuah bayangan dari bawah pintu, Elena terkejut bukan main. Karena penasaran, dia perlahan membuka pintu. Dia membawa raket untuk berjaga-jaga.

"Siapa lo!" Seru Elena yang siap memukul.

Meong

"Huwa! Arbi! Lo ngagetin gue ajah. Untung ajah bukan hantu, kalopun hantu juga gue nggak akan berani mukul ." Elena memangku Arbi dan meletakkannya di atas pangkuan.

Elena mengelus rambut Arbi yang halus, sepertinya dia akan menempatkan Arbi di tempat pemeliharaan. Dia tidak yakin bisa merawatnya dengan baik. Perut Elena berbunyi, dia melihat jam yang sudah menujukkan waktunya makan malam. Elena meletakkan Arbi di kandangnya, tidak mungkin dia membawa Arbi memasak.

Elena membuka kulkas, tidak ada bahan makanan yang bisa di masak. Hanya ada minuman dan sereal. Dia mengenakan sweater lalu mengunci pintu. Dia akan pergi ke minimarket terdekat dengan berjalan kaki.

Dia mengambil beberapa makanan dan roti, membayarnya ke kasir lalu kembali ke rumah. Dia merasa diikuti, benar ada dua orang pengendara motor yang sepertinya mengikuti. Pengendara itu menghalangi jalan Elena.

"Elena, ternyata kita bisa ketemu lagi. Gue anter lo pulang." Dimas yang membuka helmnya. Elena menatapnya cengo. Dia tidak habis berfikir dengan Dimas, saat di sekolah dia memarahinya kini berbaik hati mengantarnya.

"Mau sih ... tapi kalo bukan lo." Elena kembali melanjutkan langkahnya. Dimas tidak berhenti sampai di situ. Dia mengikuti Elena menggunakan motornya. Bahkan sampai rumah pun Dimas mengikuti.

"Heh dingo! Lo ngapain ngikutin gue. Sekarang gue udah sampe, lo pulang sana!" Elena mengibaskan tangannya. Elena menunggu Dimas pergi baru akan masuk ke rumah.

"Ini rumah lo? Gede banget ya. Lho tapi kok lo jalan kaki? Kan biasanya orkay kemana-mana bawa mobil."

"Lo kira gue hulk bawain mobil!"

"Kalo lo mau ngapel mending gue balik duluan ya." Orang yang sedari tadi menatap dua sejoli langsung menyalakan motor.

"Jangan donk, bawa si dingo balik gih. Cukup sekali liat muka lo ajah gue udah kenyang." Elena membuka gerbang dan menguncinya. Dimas masih saja menatap Elena, Rendi yang melihat itu tau arti dari tatapan Dimas.

"Lo suka sama dia, ya? Siapa namanya? Elena?" kata Rendi

"Diem lo! Buruan balik." Dimas menyalakan motornya meninggalkan daerah rumah Elena.

Elena mengunci pintunya sebelum ke dapur, dia hanya memakan roti yang dia beli lalu ke kamar untuk tidur. Bel rumahnya berbunyi beberapa kali membuat Elena kembali membuka matanya.
Dia menggerutu dalam hati karena mengganggu tidurnya. Dia berjalan keluar untuk membuka gerbang.

Elena melihat seseorang yang terus saja memencet belnya. Begitu tahu, Elena menatap orang itu sebal.

"Lo ngapain kesini, Tong? Ganggu orang tidur," kata Elena yang melihat bobi.

"Gue disuruh sama Mama anterin ini buat lo, lo gak takut dirumah sendirian gini?" Ujar Bobi menyerahkan sekotak kue.

"Gak lah, emangnya lo. Udah sana pulang, makasih ya." Kata Elena

****

Elena bangun kesiangan karena tidak mengatur jam bekernya. Elena membawa beberapa potong roti yang diantar Bobi ke dalam kotak makan. Dia melihat jam, jika dia menggunakan angkutan umum pastinya akan terlambat. Elena memilih untuk membawa mobil.

Dipertengahan jalan Elena melihat Reva yang berdiri di depan rumah. Elena menghentikan mobil, menyuruh Reva ikut bersamanya. Reva menolak karena dia masih dalam tahap canggung setelah kejadian akhir-akhir ini. Elena tetaplah Elena yang keras kepala. Dia memaksa Reva yang pada akhirnya menurut.

Dalam mobil terasa sunyi, Elena hanya diam fokus menyetir. Sampai di sekolah, Reva mengucapkan terimakasih dan berjalan lebih dulu. Elena menatap punggung Reva sedih, mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya.

Seseorang menepuk bahu Elena membuatnya terkejut. Elena menoleh menatap orang itu, seketika matanya terbelalak. Setau Elena orang ini bukan bersekolah disini.

"Dingo! Lo ngapain disini?!" kata Elena mendadak sewot.

"Ya belajar biar dapat Ilmu, emangnya lo ngira gue ngapain?"

"Numpang boker?" Elena meninggalkan Dimas yang terkekeh. Dimas mengikuti Elena yang berjalan dengan langkah stabil.

Dimas memilih masuk ke sekolah Garuda karena dia tahu bahwa Elena bersekolah disini. Kemarin, dirinya kembali berulah yang membuatnya dikeluarkan. Sayangnya Rendi tidak dikeluarkan jadi Dimas harus berjauhan dengan sohibnya itu.

"Len, tunggu! Anterin gue ke ruangan kepala sekolah, oke?" Dimas menarik tangan Elena, membuatnya menghentikan langkah.

"Lo cari sendirilah, mata dipake, otak dipake, kaki dipake, jiwa hidup. Masih nggak bisa nemuin ruangan?"  Elena melepaskan tangan Dimas dari tangannya.

"Kan gue baru masuk, mana gue tau."

"Nama lo dingo, tapi otak lo gak bingo! Noh liat di depan sana ada tulisan Headmaster. Masih mau butuh bantuan?" Elena melengos pergi, tidak peduli dengan Dimas yang masih terpaku.

Dimas menatap Elena dengan tatapan kagum. Dia akui bahwa hatinya memilih Elena. Walaupun dia tidak suka ada orang lain mengganti namanya, bagi Dimas itu merupakan sebuah panggilan sayang.

Langsung saja Dimas menemui kepala sekolah. Sejak kejadian dimana Dimas yang memegang tangan Elena, Aiden melihatnya dari jarak yang cukup jauh. Dia merasa tidak rela jika Dimas harus bersekolah disini.

Parahnya lagi ternyata Dimas sekelas dengan Aiden. Aiden tahu bahwa Elena tidak menyukainya ataupun Dimas. Tapi melihat Dimas yang secara terang-terangan mengejar Elena membuatnya kesal.

Saat di dalam kelas, Elena dicibir lagi oleh Chika dan Angel. Elena yang kesal langsung menjambak rambut kedua orang itu. Terjadi pertengkaran antara Elena vs Chika dan Angel. Ketiganya dibawa ke ruangan konseling. Elena tidak memikirkan peraturan saat itu sehingga dia berani bertengkar. Rambut Elena pun sudah acak-acakan padahal dia sudah mengikat dengan rapi.

Satu jam berlalu, barulah Elena keluar. Untungnya dia hanya diberi peringatan, bukan hukuman. Di luar ruangan konseling, Elena menendang kaki Chika dan Angel. Kedua orang mengaduh kesakitan dan akan membalasnya. Sayangnya, Elena sudah lari lebih dulu sembari mengacungkan jari tengahnya.

Elena pergi ke toilet lebih dulu untuk merapikan rambutnya. Dia berdiri di depan cermin besar, menatap dirinya dengan rambut acak-acakan.

"Sialan si cabe ngajak ribut mulu. Oh! Ya ampun! Rambut gue berantakan! Padahalkan baru keluar dari salon!" seru Elena tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh.

Elena [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang