Elena menopang dagunya dengan salah satu tangan, sedangkan tangannya yang lain asik mengetuk meja. Suasana di kelas sedang tenang mengerjakan soal-soal ulangan. Reva yang merasa terganggu langsung menyikut Elena seraya berbisik, "Tangan lo bisa diem? Berisik tau?!"
Elena melirik, hanya sekadar melirik tanpa mengucapkan sepatah kata. Kini pulpennya yang Elena ketukan pada meja. Reva menatap jengah ke arah Elena, kembali menyikut Elena memberi isyarat untuk diam.
Dasar Elena saja yang bebel alias keras kepala, bukannya berhenti malah semakin menjadi. Tiba-tiba segumpal kertas kecil mendarat di atas meja. Elena menatap sekitar, mencari sumber kertas yang terlantar.
"Elena! Jangan menengok kesana-kemari, kerjakan soalmu sendiri!"
Elena kembali menatap soal-soal dihadapannya yang sudah selesai. Elena menundukkan kepalanya untuk melihat isi gumpalan kertas.
'Tengil, tapi gue suka'
Elena pikir ada yang salah dari isi kertasnya. Merasa dirinya tidak tengil, Elena melemparkan kertas itu pada Reva. Elena pura-pura tidak tahu darimana datangnya gumpalan itu. Walaupun Elena tahu bahwa kertas itu ditujukan untuk dirinya.
"Itu kertas buat lo, kan?" bisik Reva. Elena mengendikan bahunya. Elena berpikir itu hanyalah ulah temannya yang sama-sama tengil.
Pulang sekolah, Elena menunggu Bobi di depan gerbang. Matanya menatap satu persatu siswa yang keluar dari gerbang. Matanya tidak sengaja melihat seorang pria mengenakan jaket sedang mengobrol bersama temannya. Itu teman sekelasnya, Elena berusaha untuk memperhatikan orang itu. Benar saja, ternyata orang itu diam-diam melirik ke arahnya.
"Tengil?! Buruan naik, gue tinggalin kalo lama."
Awalnya Elena ingin mendekat, tapi mendengar Bobi sudah memanggilnya membuat Elena langsung naik ke motor Bobi.
"Bob, percaya nggak kalo gue punya secret admirer?" tanya Elena. Bobi mengurangi laju motornya mendengar Elena berucap.
"Orang kayak lo pasti punya, karena apa? Orang tengil kayak lo mana ada orang yang ngejar terang-terangan."
"Buktinya Dingo terus nempelin gue mulu."
"Itu kayak bunga bangke." Mendengar penuturan Bobi membuat Elena tidak segan-segan memukulnya. Bobi yang mendadak mendapat serangan tiba-tiba oleng dan keduanya terjatuh pada rumput di tepi jalan.
"Elen! Bener-bener sial bawa lo kemana-mana. Motor antik gueeee...."
"Bobiiiii! Lo mesti belajar naik sepeda onta lagi, nih. Kaki gueee... Bobi! Bantuin gue!" Teriakan Elena membuat Bobi menundukkan kepalanya. Biarpun sudah mengenakan helm, suara toa Elena tidak ada yang bisa menandingi.
Sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka, seorang pria keluar dari mobil membantu Elena berdiri sedangkan Bobi terpaksa berdiri sendiri.
"Lo nggak apa-apa, kan?"
"Gue nggak apa-apa. Thanks, Gin."
Elena berusaha untuk jalan, tapi kakinya terasa sakit dan hampir terjatuh jika sebuah tangan tidak buru-buru menopangnya.
"Gimana kalo gue anter pulang ajah?"
"Iya lo pulang sama dia ajah sono, kagak usah minta anter lagi. Lama-lama pinggul motor gue jadi penyon!" Bobi dengan kesal menaiki motornya dan pergi begitu saja meninggalkan Elena yang sudah memasang raut wajah kesal setengah mati.
"Ayo, Gin. Anter gue balik."
Gino, salah satu teman sekelas Elena, sekaligus orang yang tercyduk melirik Elena diam-diam ketika di depan sekolah. Selama perjalanan, Elena melirik ke arah Gino, begitupun sebaliknya.
"Lo suka sama gue, ya?!"
Gino terkejut mendengar penuturan Elena dengan suara cemprengnya. Dugaannya tidak meleset, Gino yang tidak mau berbohong perlahan menghentikan mobilnya.
"Iya, gue suka sama lo. Gimana? Lo mau jadi pacar gue?"
Elena menganga melihat Gino yang dengan entengnya mengatakan itu. Terkejut sih tidak begitu, malah Elena ingin tertawa. Gino merupakan bintang kelas, mana bisa menyukai Elena yang notabene pembuat onar.
"Lo beneran suka sama gue yang kece badai ini? Biar gue kasih tau sama lo. Gue punya anjing bulldog, tiap hari selalu ngikutin gue, berhubung lo nganterin gue balik, gimana kalo gue ajak lo ketemu sama bulldog?"
Gino tidak percaya bahwa Elena memiliki seekor anjing. Biarpun dia seorang pria, dia tidak harus berani terhadap anjing, bukan? Dalam artian Gino sangat takut dengan anjing.
"Lo nggak becanda, kan?"
"Ya becanda lah! Buruan anterin gue balik!"
Gino kembali melajukan mobilnya hingga ke rumah Bobi. Gino sempat merasa lega ketika Elena berkata bahwa itu hanya lelucon. Tapi bagi Elena itu bukanlah lelucon, karena memang setiap hari ada yang mengikutinya, siapa lagi jika bukan Dingo alias Dimas? Bukan berarti Elena menganggap Dimas sebagai anjing, itu hanya leluconnya saja.
"Tipe-tipe orang kayak gue nih, ya. Dimana-mana kalo ada yang jadi secret admirer itu berakhir penyesalan. Lo tau kenapa?" Gino menggelengkan kepalanya.
"Karena gue nggak pernah tau siapa mereka! Masa gitu ajah lo nggak peka. Makanya kalo suka ya bilang."
"Kan tadi gue udah bilang."
"Gue nggak tanya lo."
Gino terkekeh mendengar penuturan Elena. Gino sendiri tahu bahwa Elena tidak pernah berdekatan dengan pria. Itu membuat dirinya sedikit canggung ketika mengutarakan perasaannya.
Dari dalam mobil, Elena melihat Aiden yang sedang menunggu Sasha di depan sekolah Cempaka. Elena terus memandangi hingga mobil Gino melewati Aiden.
Gino sempat melirik ke arah Elena yang tengah memandangi Aiden. Gino tahu bahwa Elena memiliki perasaan pada Aiden. Gino menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Bobi.
"Len, gimana sama jawaban lo?"
Elena menatap raut wajah Gino yang serius. Elena tidak tahu harus menjawab apa. Elena terkekeh menghadap Gino.
"Gin, gue tau lo suka sama gue. Tapi bukan berarti kita harus menjalin hubungan, kan? Gue lebih milih temen daripada pacar. Setelah kita putus pasti bakal jadi mantan, sedangkan dalam pertemanan nggak ada yang namanya mantan teman. Gue nggak mau kehilangan teman satu per satu. Tetap jadi diri lo, karena dengan begitu kita bisa terus sama-sama."
Mungkin Gino merasakan sakit karena di tolak, tapi dia sadar bahwa pertemanan lebih penting daripada pacar. Teman lebih banyak daripada pacar, itu sudah bisa membuktikan bahwa teman memiliki perbandingan lebih banyak ketimbang pacar.
"Gue tetap jadi temen."
Elena tersenyum dan mengangkat kepalan tangan untuk bertos ria. Gino juga menjadi lebih lega setelah mengutarakan cintanya. Gino bisa kapan saja berada di samping Elena tanpa takut kehilangan.
"Thanks ya udah nganterin gue."
"Santuy."
Gino menatap punggung Elena yang semakin menjauh dan hilang dari balik pintu. Dalam hati Gino yang tulus, dia merasa benar-benar menyayangi Elena. Tapi sayangnya dia tidak mengetahui bahwa perasaan itu bukan karena cinta, melainkan hanya sekadar kagum.
'Gue percaya, Len. Sampai kapanpun kita masih bisa bersama. Selagi lo dan gue masih bisa sama-sama bernapas.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Elena [END]
Teen FictionBUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA! Karya sudah END ini kisah hidup Elena, si gadis periang dan tangguh. Elena tidak mudah ditindas, jika ada yang menindas nya maka dia akan balik menindas. Kesialan yang menimpanya dipagi hari membuat dirinya bertem...