Duapuluhlima

29 6 0
                                    

Elena bangun di pagi hari dengan sumringah. Seolah-olah tidak ada lagi beban yang harus ditanggung olehnya. Semalam, Ezra menyuruh Elena mengaku tentang yang dia rasakan selama ini. Mau tidak mau, Elena harus mengatakannya agar tidak ada masalah yang perlu dipendam.

Elena berjalan menuju kamar mandi, dia akan berkunjung ke rumah sakit untuk bertemu Aiden. Tidak pernah terpikirkan olehnya jika Ibu Aiden yang akan memintanya menemui Aiden. Elena menatap pantulan style-nya di cermina. Rambutnya yang dikat dengan rapi, sebuah dress sederhana, dan sepatu yang pas di kakinya membuat tampailannya tampak rapi.

"Elena! lo harus bisa kembali menjadi diri lo yang sebenarnya. Untuk lo kak Aiden, gue tau pasti kalo lo nungguin gue. O.M.G gue beneran, kan? Elena sadar, sadar, sadar." Elena kembali menepuk pipinya.

"Gu-""Elena? sudah bangun? kamu mau kemana?" Catherine tiba-tiba saja langsung membuka pintu kamar Elena yang membuat sang pemilik terkejut. Namun hanya beberapa detik saja karena setelah itu Elena langsung memeluk Catherine.

"Kakak, maafin perilaku Elena selama ini yang nggak sopan. Elena bener-bener khawatir kalo kakak ngerebut kak Ezra dari Elena." Catherine terkekeh, lalu membelai rambut Elena.

"Kakak tahu bagaimana perasaan kamu, lupakan masalah yang sudah berlalu, kita mulai yang baru." Catherine menunjukkan jari kelingkinya, dengan senang hati Elena menautkannya dengan jari kelingking miliknya.

"Kamu belum jawab pertanyaan kakak, kamu mau kemana?" tanya Catherine.

"Ada, deh." Elene berlari kecil menuruni tangga.

Melihat suara tawa dan langkah kaki membuat Ezra menoleh ke arah Elena yang menuruni tangga, disusul dengan Catherine yang sepertinya berusaha meraih Elena. Ezra tersenyum karena sekarang tidak ada lagi air mata ataupun wajah suram yang dia lihat dari Elena. Perkataan Reva benar adanya bahwa Elena masih belum bisa memahami kondisinya.

"Morning, Kakak!" Elena mengcup pipi Ezra, kemudian menarik kursinya untuk sarapan bersama. Catherine menyiapkan makanan untuk Ezra dan Elena.

"Kamu mau ke rumah sakit?" tanya Ezra.

Elena mengangguk sambil menggigit rotinya. Dia makan begitu lahap karena selaman tidak makan apapun. Salahkan saja Elena yang begitu gengsi untuk bertemu denga Ezra dan Catherine. Tiga lembar roti tawar berhasil Elena habiskan, kegiatan itu membuat Ezra dan Catherine saling berpandangan, lalu terkekeh bersama.

"Elena, perlu kakak anterin kamu?" tawar Catherine.

"Nggak usah, Elena nggak amnesia. Elena bisa pergi sendiri, Elena berangkat dulu!" 

Ezra dan Catherine saling berpandangan. Terutama Catherine karena baru melihat tingkah Elena yang sebenarnya lebih mengasikkan dari pada apa yang dia dengar. 

Elena berjalan dilobby rumah sakit yang terlihat ramai. Rumah sakit, tempat yang tidak pernah sepi pengunjung. Entah berapa banyak orang yang sakit setiap harinya membuat Elena terkekh dalam hati karena pikiran konyolnya.

Elena berhenti di depan ruang rawat inap Aiden. Dia menghembuskan napas sebelum tangannya mendorong pintu. Kini Elena bisa melihat Aiden lebih dekat, wajahnya yang terlihat pucat dan tubuhnya yang sedikit kurusan, serta alat-alat medis yang menempel ditubuhnya.

"Elena? bagaimana kondisi kamu?" tanya Ibu Aiden ketika melihat Elena yang memasuki ruangan.

"Jauh lebih baik, om sama tante nunggui kak Aiden sejak kemarin. Boleh kalo sekarang giliran Elena yang nungguin?" pinta Elena.

"Itu juga yang kami inginkan. Om harap, kamu bisa menjaga Aiden dengan baik sementara waktu."

"Baik, Om."

"Kakak cantik? kok ada disini?" tanya Lily. Elena meneoleh pada Lily dan berusaha untuk mengingat wajah yang tampak familiar.

"Hai, kok aku nggak asing sama wajah kamu, ya?" ujar Elena.

"Kamu yang waktu itu menemukan Lily saat di mal," jawab Ibu Aiden.

"Boneka gue?" gumam Elena tiba-tiba saat mengingat kejadian memalukan di mal.

"Ada apa, Elena?" tanya Ayah Aiden.

"Eh? nggak apa-apa, Elena inget. Kamu cantik banget siiihhh!" Elena menarik kedua pipi Lily yang malah terkekeh.

"Kalau gitu, kami menyerahkan Aiden padamu."

"Iya, Tan. Kalau ada kabar baik, Elena akan telpon tante."

Elena duduk di samping bangsal Aiden seraya memegang tangannya. Tangan Aiden begitu dingin dan lembut. Elena tidak ingat terakhir mereka bergandengan tangan. Setetes air mata keluar dari pelupuk matanya.

"Kak, apa kabar? lama nggak ketemu lo makin kurusan. Gue nggak nyangka lo bakalan tidur selama ini. Lo tau? semua masalah gue udah terselesaikan tanpa lo bantu. Gue bisa menangani masalah sendiri. Gimana? lo bangga sama gue, kan?"

"Nyokap lo bilang, gue adalah harapan lo. Kalo iya emang bener, kenapa lo nggak ada kabar baik sampe sekaranga? apa sebegitu bencinya lo sama gue sampe-sampe nggak mau buka mata untuk ngeliat gue?"

"Lo pasti bahagia setelah tahu permasalahan kita selama ini udah selesai, tanpa perlu lo repot-repot menangani. Gue selalu ada buat lo, sekarang gue ngerti apa yang dinamakan cinta. Sesuatu yang tidak bisa ditebak, hanya bisa dirasakan."

"Pernah nggak sih lo ngerasain hal yang sama kayak gue? gue suka sama lo, tapi lo suka sama dia. Sekarang kalo gue bilang suka sama lo, lo bakalan jawab apa? suka sama gue atau sama dia lagi?"

"Besok ujian kenaikan kelas, tahun depan lo bakalan seangkatan sama gue. Tapi gue nggak yakin kita bisa bersama lagi. Gue bakalan pergi jauh, jauh sampe-sampe gatau akan pulang kapan. Gue berharap sebelum gue pergi, lo bisa buka mata."

"Kak, buka matanya. Apa perlu Elena bawa pisau buat congkel supaya melek? Ayo dong, Elena kesepian, nih. Nggak ada orang lagi selain kita berdua. Udah so sweet, tapi lo nya ajah yang nggak romantis." 

"Kak Aiden! lo kenapa, sih? lo bisa denger gue, kan? lo inget nggak sewaktu gue narik-narik tangan lo di pasar malem. Gue sering ketawa sendiri nginget kejadian hal itu. Kapan kita bisa pergi bareng lagi?"

Elena terus bercerita dan mengajak Aiden mengobrol walaupun tidak ada respon. Tanpa dia sadari, sebenarnya Aiden mendengar suaranya dari alam bawah sadar. Air matanya menetes membuat Elena terkejut dan segera memanggil dokter.

Elena sangat senang karena Aiden mau merespon hanya dengan tetesan air mata. Namun, dokter mengatakan bahwa itu adalah fek dari alam bawah sadar, Aiden hampir melewati masa kritisnya. Elena bersyukur karena setidaknya ada perkembangan dari kondisi Aiden.

"Kenapa respon lo nangis? lo sedih gegara mulut gue nggak berhenti ngomong? atau bahagia karena gue jenguk lo?" Elena mengusap air mata Aiden dengan ibu jarinya. Dari luar ruangan, seseorang melihat Elena yang sedang mengusap wajah Aiden.

Tok tok

Elena menoleh saat mendengar ketukan pintu. Ada Gino yang ternyata sudah berdiri di depan pintu. Elena mengernyitkan dahi karena tidak tahu apa yang dilakukan Gino di rumah sakit.

"Lo ngapain disini?" tanya Elena.

"Gue jengukin nenek. Gue mau ngomong sama lo, bisa?" tanya Gino.

Elena mengangguk, lalu mempersilakan Gino untuk duduk di sofa. Dia juga sedikit penasaran dengan apa yang akan Gino bahas, padahal masalah mereka sudah berlalu.

Elena [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang