Apabila

6.3K 443 11
                                    

Dengan tergesa Varsha dan Ari memasuki ruang UGD. Gadis gendut itu menghambur ke pelukan Kumala yang masih sadar, meskipun luka di kepala, tangan, dan kakinya baru saja dibersihkan. Ari menatap keduanya dari ujung ruangan.

"Kakaakk!!!" Kumala mengusap pelan rambut panjang Varsha. Gadis itu tersenyum di antara rasa sakitnya.

"Gimana tadi acara ketemuannya sama Ari?" Goda Kumala yang malah menanyakan pertemuan mereka berdua. Ia mendapati Ari yang masih menggunakan maskernya. Kumala tahu jika lelaki itu tengah tersenyum. Terlihat dari matanya yang menyipit.

"Ish. Harusnya kan Sasha yang tanya keadaan Kakak." Gerutu Varsha yang kini menatap kakaknya.

Kumala tersenyum.

"Kakak nggak papa, Sha. Ini cuma patah tulang kok. Nanti juga sembuh." Jawabnya sembari menunjuk ke arah kakinya yang tiga jam lagi akan dioperasi.

"Cuma? Patah tulang itu bukan cuma-cuma, Kak!" Omel Varsha menatap jengkel Kumala. Tidak tahu apa jika dirinya tengah mengkhawatirkan Kumala setengah mati. Ia benar-benar tidak mau terjadi sesuatu dengan kakaknya itu.

"Udah, Sha. Nggak papa." Ucap Kumala kembali tersenyum. Ia mengusap lengan berlemak Varsha yang masih memeluknya.

Kumala teringat sesuatu.

"Sha, yang bayar biaya operasi sama biaya rumah sakit siapa? Kamu? Kok tadi kata Dokter, kakak udah bisa dioperasi karena administrasinya udah lunas?" Varsha melepas pelukannya. Ia terdiam menunduk. Menatap jari-jari kaki yang sedikit terhalang lemak di perut buncitnya.

"Sha?" Kumala menggguncang pelan lengan Varsha. Membuat gadis gendut itu menatapnya takut-takut.

"Hm, Sha. Kamu bisa keluar sebentar? Ada yang mau saya bicarakan dengan kakak kamu." Ucap Ari memotong pembicaraan mereka. Ia berjalan mendekat ke arah Varsha lalu membisikinya. Dengan patuh, gadis gendut itu mengangguk mengiyakan. Kemudian melangkah keluar dari ruang UGD.

"Ada apa, Ri? Kok sampai nyuruh Sasha keluar?" Tanya Kumala sembari menatap heran Ari. Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia berdehem. Menetralkan napasnya yang sedikit memburu karena deg-deg an.

"Hm... kalau saya ngelamar Varsha, gimana menurut kamu?" Ucap Ari tanpa berbasa-basi. Lelaki itu membuka maskernya tapi tidak sampai melepasnya.

"Ya bagus dong. Pasti aku dukung. Eh tapi nggak kecepetan? Seyakin apa kamu sama adik aku?" Kumala sedikit terkejut dengan ucapan Ari.

"Dua kali pertemuan sudah cukup membuat saya semakin yakin dengan Varsha. Saya percaya jika Tuhan sengaja mempertemukan kami di waktu yang tepat." Ari memberi jeda di antara kalimatnya. Rasanya susah untuk menjelaskan perasaannya saat ini. Yang ia tahu, dirinya sudah nyaman dan ingin terus berada di dekat Varsha.

"Kalau kamu merestui saya, hari ini saya akan ajak Varsha untuk menemui kedua orangtua saya di Jakarta. Mungkin selama tiga hari ke depan. Tapi kamu tenang saja, kamu di sini nggak akan sendirian. Nanti saya telpon Fandi, manager saya, untuk menemani kamu selama Varsha di Jakarta. Gimana?" Sambungnya penuh harap. Matanya yang tajam mengunci pandangan Kumala dari gadis gendut yang sedang menatapnya dari kaca pintu.

"Jangan-jangan yang bayar biaya administrasi itu kamu juga?" Tebak Kumala melihat lelaki di depannya itu dengan curiga.

Ari tersenyum lebar. Lelaki itu tidak mengelak.

"Ya, hitung-hitung sebagai bukti keseriusan saya terhadap Varsha." Ari mengedikkan bahu tak acuh. Seakan biaya administrasi yang tadi dibayarnya itu tidak sebanding dengan perasaannya terhadap Varsha.

Dilihatnya Kumala yang hendak mengucapkan sesuatu. Mungkin berterima kasih. Namun ia masih masih penasaran dengan jawaban Kumala tentang keseriusannya. Membuat Ari kembali mencerca gadis cantik itu.

Ariansyah✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang