Sekarang

4.6K 290 19
                                    

Ari dan Varsha tengah berada di perjalanan menuju rumah Hilda, alias teman Ari yang katanya psikolog dan sarjana muda. Perjalanan yang ditempuh lumayan singkat karena jaraknya juga tidak terlalu jauh dari rumah Nadeo. Mereka hanya membutuhkan waktu dua puluh lima menit untuk sampai di sini.

"Kak, nanti temani Sasha sampai selesai terapi ya." Ujar Varsha yang tengah kesulitan membuka seatbelt nya. Berbeda dengan Ari yang sudah menatap spion dengan membenarkan rambutnya.

"Maaf, Sayang. Aku maunya sih gitu. Tapi hari ini aku ada jadwal penandatanganan kontrak baru lagi. Jadi nggak bisa nemenin kamu sampai selesai. Tapi nanti aku pasti jemput kamu kok." Sesal Ari, ia peka dengan Varsha yang masih belum bisa melepaskan diri dari seatbelt itu.

"Eh susah ya." Ari mendekat ke arah istrinya. Lalu dengan cekatan membuka kuncian pada seatbelt. Sekali hentakan saja Varsha sudah berhasil melepaskan diri.

Lelaki itu menahan pergerakannya. Ia menatap Varsha yang tengah bernapas lega. Seolah tidak menghiraukan ucapannya tadi.

"Sayang, tadi kamu dengar aku bicara kan?" Ari menatapnya intens.

Varsha mengangguk kaku. "Sasha dengar kok, Kak. Ya udah nggak papa, nanti Sasha terapinya sendiri dulu aja." Ucap Varsha yang agak jengkel kepada Ari. Entah kenapa dirinya menjadi manja dengan lelaki itu. Dan selalu merasa jengkel setiap suaminya tidak menuruti kemauannya.

Ari merangkum wajah bulat Varsha, menatap tepat pada manik mata wanita itu. "Kamu nggak papa kan, Sayang? Sebenarnya aku juga nggak tega ninggal kamu sendirian di rumah Hilda. Tapi mau gimana lagi, aku udah terlanjur janji sama pihak club sepakbola." Jelas Ari. Di dalam hatinya ia merasa khawatir, masih trauma dan takut terjadi sesuatu lagi dengan istrinya.

"Iya nggak papa kok, Kak. Sasha paham." Lesu wanita itu. Ari mengusap pipinya lembut. Lalu mengecupnya.

"Ya udah kita masuk yuk. Hilda udah nunggu di dalam." Lelaki itu tersenyum, bergegas keluar dari mobil, kemudian mengitarinya untuk membukakan pintu.

Jantung Ari berdegup sangat kencang, saat istrinya mulai merangkul pinggangnya erat. Bibirnya selalu mengulas senyum mendapati sikap Varsha yang semakin posesif terhadapnya.

Lelaki itu mengacak rambut istrinya pelan, lalu balas merangkul pinggang Varsha tak kalah posesif. Mereka berjalan beriringan menuju pintu coklat yang tidak sebesar pintu rumah mereka. Karena memang dari ukurannya saja, rumah ini sangat minimalis dan hanya berlantai satu.

Tok tok tok

Tok tok tok

"Iya sebentar!!" Teriak seseorang dari dalam. Derap langkahnya mulai terdengar oleh Varsha dan Ari.

Cklek

Pintu coklat itu terbuka, menampakkan seorang perempuan yang terlihat mungil dibandingkan mereka. Ari tersenyum, ia menyalami perempuan itu, diikuti oleh Varsha.

"Oh, Mas Ari sama.."

"Sasha." Ucap Varsha dengan ketus. Ia melirik Ari yang masih tersenyum kepada perempuan mungil itu. Hell, ia tidak suka suaminya dipanggil 'Mas' oleh perempuan ini. Apalagi Hilda memanggilnya dengan nada genit. 'Uuh, ingin kubunuh saja.' Gerutu Varsha dalam hati.

"Ah iya, mari masuk. Aku udah nunggu kalian berdua sejak tadi, loh." Ujar Hilda dengan ceria.

"Wah maaf ya. Sepertinya kita telat." Kekeh Ari kepada wanita itu. Tanpa tahu jika hati Varsha mulai memanas. Wanita hamil itu semakin mengeratkan rengkuhannya di pinggang Ari.

"Nggak telat-telat amat sih. Kalau untuk Mas Ari mah, aku nunggu setahun juga nggak papa."

Varsha mendengus, mendengar ucapan Hilda yang mulai centil. Sesaat Varsha teringat dengan ucapan Ari yang tidak bisa menunggunya.

Ariansyah✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang