Penculikan

184 12 0
                                    

☁️☁️☁️


Semburat jingga begitu indah terlukis di langit sana. Tapi sayang awan hitam memenuhi langit selatan. Tampaknya bumi ini akan terus hujan di bulan pancaroba ini.

Sepatu putih dengan sedikit corak awan melangkah pelan melewati batuan setapak mengarah pada danau. Dengan bunga astor yang diikat dengan pita pink menambah kesan cantik pada bunga itu. Sesekali ia menghirup wangi manis dari bunga astor yang ia genggam erat.

Kilatan petir berwarna sedikit oren kemerahan merambat-rambat di awan hitam di langit selatan. Ia sesekali mengucap dzikir atas ciptaan Tuhan itu. Namun langkahnya berhenti ketika Ia melihat domba-domba berjalan menuju gunung Kinabalu. Tak heran Ia mengikuti para tawanan domba yang berjalan rapi menuju kandang.

Hingga ia tak sadar bahwa dirinya sudah jauh dari asalnya. Domba kecil terjatuh dengan kaki yang terperangkap di lubang kecil bekas patokan kayu. Ia segera berlari mendekat lalu mengangkat kaki kecil itu untuk keluar dari lubang. Ia tersenyum ketika domba itu dapat menyusul tawanan domba lainnya.

Belum sempat berdiri, seorang pria menghampiri dengan senyum serta seringai mengerikan menatapnya. Ia segera berlari namun di belakangnya telah terdapat 2 orang pria besar dengan topi hitam di kepalanya.

" Mau apa kalian?" Ucap Meira menatap tajam mata merah di depannya.

Pria itu tertawa keras sambil bertolak pinggang.

" Hahahaha, kami mau membawamu pergi dari sini." Pria itu lalu menarik tangan Meira paksa karena perempuan itu terus meronta untuk di lepaskan.

" Jangan meronta atau kau akan mati mengenaskan disini." Pria muda itu menodongkan pistol kearah Meira membuat Meira menegukkan ludahnya kasar.

Mobil truk dengan selubung hitam menutupi bagian belakang truk itu agar tak kehujanan. Meira terus di tarik paksa untuk masuk ke dalam truk yang berisi beberapa susunan peti kayu kecil yang berisi senjata tajam. Ia meringis takut melihat itu dan para penculiknya.

" Kalian mau apa menculikku?" Tanyanya takut memandang pria-pria jahat di depannya.

" Kau akan tau nanti. Lebih baik kau hubungi pacarmu itu, untuk tidak menunggumu. Bilang saja kalau kau pulang karena ada tugas mendesak." Pria itu memberikan ponsel kepada Meira yang layarnya telah tertera nomor seseorang yang ia kenal. Meira tidak berniat mengambilnya namun pria itu terus menodongkan pistolnya kekepalanya.

" Cepat ambil, kalau tidak Bigbos mu itu akan menerima balasannya. Jangan bicara macam-macam, ikuti apa yang kusuruh." Pria itu terus mendesak Meira, alhasil ia menerimanya dan meletakkan ponsel itu ke telinganya. Terdengar suara pria dari sebrang telepon yang terus bertanya.

" Halo?" Ucap Arga dari sebrang telepon.

Meira menggenggam ponsel itu bergetar dengan air mata yang menggenangi pelupuk matanya. Ia memandangi pria jahat di depannya yang menatapnya tajam.

" Arga." Meira menarik napas dalam-dalam.

" Meira, ini kamu? Kamu dimana kenapa gak ada di barak. Aku mencarimu." Balas Arga khawatir.

"Omong-omong ini ponsel siapa?" Tanya Arga.

" Aku pergi sekarang." Ucap Meira.

" Kemana?"

" Kembali ke Jogja, tugas ku sudah selesai sekarang." Setetes air mata jatuh tak tertahan.

" Kamu pergi sekarang, bukankah masih 2 hari lagi. Kenapa cepat sekali. Kenapa kamu gak izin dulu sama aku."

" Ternyata di luar dugaan. Maaf, namun ini mendadak. Dosen ku mempercepat sidang kelulusan ku. Maaf tak mengabarimu." Meira membekap mulutnya agar ia tak mengeluarkan suara senggukan.

" kamu ada di mana sekarang? Aku kesana."

" Jangan, aku sudah pergi naik mobil. Maaf aku tak sempat berpamitan."

" Tapi kenapa pakaianmu masih di barak, dan kenapa tak memberi tahu Tari dan lainnya." Arga berlari menuju kantor tempat rekaman cctv berada.

" Tunggu aku sebentar, aku ingin menemui mu dulu. Kamu di mana sekarang?" Mata Arga mula memerah menahan air mata yang akan segera tumpah.

" Kamu ini begitu keras kepala. Aku sudah pergi sekarang, menggunakan mobil truk yang sangat persis dengan yang pernah kita naiki bersama. " Meira meliri sekilas para penculik yang menatapnya bingung.

" Jadi jangan tanyakan lagi keberadaanku." Isakan tangisnya membuat Arga semakin khawatir.

" Meira. Kumohon, semenit saja. Kau dimana. Aku akan datang." Bentak Arga

Meira menggigit bibir bawahnya yang pucat, menahan tangis yang mendesak keluar yang akhirnya meninggalkan suara serak.

" Tak perlu Arga, aku baik-baik saja. Kau tak perlu cemas. Aku kan mengabarimu setelah sampai di tempat. Jangan khawatir, aku tak enak nantinya."

Namun, apa daya air matanya mulai bergulir jatuh di pipi tanpa ia kehendaki. Lantas ia membekap mulutnya kencang. Sesekali, terdengar suara isakan halus dari bibir Meira.

" Jangan di matikan, ku mohon. Kamu bersama siapa? Kamu melihat apa, katakanlah. Aku bisa menemukanmu." Arga menatap layar cctv yang menampilkan pergerakan Meira di dekat danau.

" Hah, jangan bercanda terus Ga, aku tak suka. Aku pasti akan merindukanmu selalu Ga." Meira mengusap pipinya pelan.

" Kamu dimana Meira. Katakanlah ku mohon , jangan membuatku takut." Air asin lolos keluar dari mata elang itu mengalir lurus dan jatuh ke bumi.

Satria melihat Arga lalu menepuk pundaknya pelan.

Arga mengamati setiap apapun yang dilakukan Meira saat mengikuti segerombolan domba namun sosoknya hilang di balik hutan yang mengarah pada hamparan ladang hijau di gunung Kinabalu.

Arga memukul dinding keras meninggalkan warna merah disana. Ya jarinya tergores akiba pukulan itu karena ia saat ini sedang emosi.

" Sudah ku katakan, Aku pulang kembali Jogja. Aku disini sekarang baik-baik saja Arga." Meira menangis sejadi-jadinya namun pria itu menyuruhnya untuk selesai berbicara.

" Arga, kamu tau aku sangat mencintaimu, kamu tau aku tak ingin kamu kenapa-kenapa. Aku ingin kamu selalu sehat, tetap semangat bekerja. Dan aku ingin kamu jangan sampai terkena luka tembak, karena aku akan sangat khawatir melihatnya. Aku sayang kamu, aku sangat mencintaimu." Sambungan terputus namun Arga sempat mendengar suara pria berbicara kasar pada Meira. Itu membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Rasa amarah yang semakin mengebu, membuat napasnya tak teratur. Arga memukulkan tinju kecilnya ke dinding coklat lagi. Hampir tak bersuara. Tubuhnya luruh ke lantai. Ia menangis tanpa suara.

" Prajurit tidak kena air mata. Pantang menangis, pantang putus asa." Katanya.

Tubuh kekarnya kembali berdiri tegak. Begitu kokoh dalam balutan seragam lorengnya. Dalam hatinya banyak seribu tanya yang entah harus kemana ia akan menemukan jawabannya.

__________________________________

HELLO! MY KAPTENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang