Dibalik tawaan ada kesedihan yang mendalam

307 15 0
                                    

Teng

Teng

Teng

Suara besi yang di pukulkan Boy kedalam lonceng. Membuat anak-anak berhamburan keluar kelas. Menandakan bahwa jam pelajaran berakhir . Sudah seminggu bel ini menggantikan bel listrik yang tak berfungsi dari biasanya. Membuat Meira berinisiatif untuk membetulkannya di Kota.

Meira memandang langit dan beralih menatap matahari yang membuat matanya berkunang-kunang. Terik matahari yang menyengat membuat Meira mengadahkan tasnya untuk menutupi kepala dari panasnya matahari ini.

" Bu. Jadi kita berkunjung kerumah Adul?" Ucap Kenan yang menarik gardigan rajutnya.

" Jadi. Mana teman-temanmu?" Meira menatap kenan silau. Karena ia memakai kaca mata membuat ia sedikit memicingkan mata.

" Disana Buk." Tunjuk Kenan ke arah pohon mangga yang di bawahnya terdapat anak muridnya. Meira  melangkah menghampiri mereka.

" Ayo kita pergi." Ajak Meira dan mereka langsung pergi menuju rumah Adul.

Meira melirik jam tangan pink yang melingkar cantik di pergelangan tangannya.

Pukul 12.15 sudah mau dzuhur. Ia dan anak- anak mempercepat langkahnya. Meira tampak hati- hati saat kakinya tergelincir oleh tanah yang becek ini. Apalagi jalur menuju rumah Adul yang harus menaiki bukit. Karena rumahnya ada di atas bukit dekat dengan sungai yang saat itu Meira dan Arga kunjungi.

Terlihat beberapa pria-pria besar dan 1 wanita berdiri di depan rumah Adul. Terlihat sedang bercengkrama sopan pada orang tua Adul. Terlihat dari pria tinggi itu yang sering tertawa. Orang tua Adul melihat Meira membuat lelaki tinggi itu menoleh padanya. Anak-anak melihatnya langsung menggeser tubuh mereka dan bersembunyi di belakang tubuh Meira saat pria tinggi itu tersenyum pada perempuan itu.

Meira yang melihat wajah serius dari pria di hadapannya ini hanya bisa menegukkan ludahnya susah. Pria itu menghampiri Meira sambil mengisap rokok dan meniupkan di wajahnya. Meira langsung menyingkirkan wajahnya agar tak terkena asap rokok dari pria itu.

Pria itu terkekeh, " cari siapa cantik?". Pria itu kebelakang dan tertawa keras. Anak-anak memegang baju Meira erat. Meira pun memegangi mereka agar tak takut melihat pria sangar di depannya.

" Kenapa kalian bersembunyi boy, girl. Om bukan orang jahat." Ucapnya sambil memajukan wajahnya pada mereka.

Anak-anak hanya memandang ngeri pada tato di pergelangan tangan pria itu.

" Dia guru relawan yang mengajar anak saya." Ucap Bapak Adul dari depan pintu. Membuat laki-laki itu menoleh padanya dan kembali menoleh menatap Meira, intens.

Pria itu tersenyum paksa, " oo ternyata guru baru dari luar kota. Orang yang akan membawa penerangan bagi desa ini. Hahaahaha." Sahutnya diiringi tawa.

" Cantik dan seksi pula." Lanjutnya membuat anak buahnya tertawa termasuk wanita dengan pakaian minim di sampingnya.

" Astagfirullahalazim." Hanya itu kalimat yang terlontar dari mulutnya saat pria itu mengucapkan kata tak sopan. Meira mulai risih saat pria itu menatapnya dari atas sampai bawah. Apakah pria itu tak punya attitude memandang wanita berhijab. Pikirnya.

Pria itu kembali menatap Pak Anton ayah Adul.

" Anton. Saya akan kembali lagi kemari. Membawa sesuatu yang saya mau." Lalu pria itu menghampiri Pak Anton dan mendekatkan wajahnya ke telinga Bapak tua itu.

" Untuk hari ini anak gadismu aman. Tapi nanti anak gadismu akan kuambil paksa. Untung kalian terselamatkan oleh perempuan itu." Raut wajah Pak Anton berubah menjadi takut. Lalu pria itu pergi meninggalkan mereka namun sempat melirik Meira lama. Meira yang di tatap pun memalingkan wajahnya dan berjalan menuju Adul yang bersembunyi di balik pintu.

" Adul sini nak." Panggil Meira. Adul berlari dan memeluknya erat. Terdengar suara samar kalau Adul sedang menangis dipelukkannya.

" Kenapa menangis Adul? Jangan cengeng, Adul kan kuat. Mau jadi tentara bukan, kenapa menangis." Meira menatap Adul lalu menghapus air matanya. Hanya anggukan yang diberikan Adul atas perkataan Meira. Tiba-tiba Pak Anton menarik Adul keras.

" Masuk Adul. Jangan keluar kalau belum disuruh keluar. Dan kalian pergi dari sini." Ucap Pak Anton kasar.

Perempuan ber androk kuning dengan motif bunga menatap Meira nanar. Ia lalu masuk kedalam rumah menyusul Adul.

" Kenapa Bapak mengusir kami. Kami kesini berniat baik. Hanya ingin melihat Adul, kenapa ia jarang masuk sekolah sekarang?" Tanya Meira menatap wajah pria itu tajam.

" Itu bukan urusan anda. Sekarang keluar dari rumah saya. " Pak Anton menunjuk-nunjuk untuk Meira segera pergi.

" Jelas itu urusan saya. Adul adalah murid saya. Sebagai wali kelasnya saya harus tau apapun tentang Adul." Jawabnya membuat wajah Pak Anton semakin merah.

" Dan Bapak tidak seharusnya melarang Adul pergi belajar." Meira mulai terbawa emosi.

" Apa urusanmu? Adul anak saya. Jadi terserah saya mau apakan Adul." Timpalnya.

" Bukan berarti anda orang tuanya. Melarang Adul untuk belajar demi masa depannya." Jelas Meira membuat pria itu terkekeh.

" Masa depan katamu. Masa depan." Balasnya. Nada suara pria itu mulai naik 2 oktaf.

" Apakah anda tega melihat Adul menjadi anak yang tak berguna? Apakah anda rela bila Adul mudah terhasut omongan orang. Dan apakah anda puas melihat Adul tak punyai masa depan." Kecam Meira hingga masuk direlung hati pria hitam itu.

Pria itu terduduk di kursi depan rumahnya dan menangis. Meira yang melihatnya hanya memandang aneh.

" Hah, kenapa anda menangis? Merasa ternasehati atau menangis merasa benar?" Ucapnya tajam.

Pria tua itu memandangnya dengan sedikit tersenyum simpul.

" Hidup ini tak selamanya menyenangkan." Ucapnya di selingi kekehan kecil.

" Kadang kita harus melawan dan kadang pula harus terlawan. Dunia ini kejam kau tau? Orang-orang seperti aku hanya bisa mencium tanah di bawah kaki penguasa." Lanjutnya membuat Meira semakin tak mengerti.

" Apa maksudmu?" Tanya Meira. Pria itu menghampiri Meira dan menatapnya.

" Lebih baik anda pulang." Ucap pria tua itu lembut padanya. Sekarang terlihat pria itu mulai mencair kemarahannya.

Meira pun tersenyum simpul dan pria tua itu meninggalkannya. Meira pun memanggilnya sebelum pria itu menutup pintu rumahnya.

" Pak, maaf. Tapi ku mohon berikan ini pada Adul. " Meira memberikan buku tulis baru kepada pria tua itu.

Pria tua itu menatap buku itu dengan berair-air. Ia lalu mengusap matanya agar air itu tak jatuh kebawah.

" Pak saya hanya ingin bilang. Bahwa hidup anda yang menentukan adalah anda bukan saya ataupun orang lain. Jadi anda harus bisa membuat jalan hidup anda sendiri. Anda yang berhak memutuskan apa yang terbaik untuk anda. Menjalani hidup yang anda miliki sebaiknya di ikuti dengan kebahagiaan yang bisa anda dapatkan dari diri anda sendiri ataupun anak-anak anda. Dan jangan pernah membuat anak-anak anda menanggung semua kesedihan itu. Buat mereka bahagia pula. Jangan pernah membawa mereka pada jurang terdalam Bapak. Mereka tidak tau apa-apa. Biarkan mereka bahagia pula." Jelas Meira panjang disertai nada suara yang sedikit sesenggukan.

Pria itu terdiam atas penuturan perempuan di hadapannya ini. Ia memang egois saat ini. Seharusnya ia melawan mereka yang membuat hidup mereka hancur. Dan tidak membawa anak-anaknya kedalam masalah itu. Akhirnya pria itu mengerti dan tersenyum menerima pemberian Meira.

" Terima kasih." Ucapnya lalu melenggang pergi kedalam rumah lalu menutup pintu itu rapat.

Meira hanya bisa menghembuskan napasnya kasar. Hari mulai semakin sore dan anak muridnya harus segera pulang. Lalu Meira mengantar mereka kerumahnya masing-masing. Tak lupa anak muridnya melambaikan tangan disertai senyuman yang di berikan kepadanya.

Ia berlalu sambil sesekali melirik pohon-pohon yang bertiup pelan. Anak kambing pun digiring untuk masuk ke kandangnya. Sungguh menggemaskan takkala perempuan itu berjalan menerobos mereka.

                                 ***

Gimana gaesss mantul kann. Semoga ayah Adul mengerti dan memperbolehkan Adul sekolah lagi ya.

HELLO! MY KAPTENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang