EPISODE 5

5.2K 365 128
                                    

Ali masih berada di depan lapangan, mengenakan seragam basketnya. Para penonton masih bersorak sorai untuk Ali, kecuali aku, Seli dan ST4R. Dengan wajah tegang aku dan Seli menebak-nebak apa yang akan terjadi. ST4R sih santai. Aku merapikan anak rambut yang sudah terkena keringat, gerah. Tapi ternyata jepit dari Ali berguna juga. Rambutku masih nyaman, tidak basah oleh keringat. Walaupun tetap saja aku akan berkeringat. Di sini sangat sesak, dipenuhi oleh penonton baik dari kalangan adik kelas baru atau dari kakak kelasnya. Bahkan Mamang tukang bakso ada di sini--katanya sih begitu, tapi mana mungkin aku melihatnya di tengah keramaian begini.

"Pertama, akan kutunjukkan bagaimana melakukannya." Ali meminta sembilan anggota klub basket untuk membentuk blokade tim basket. Blokade segera terbentuk, Ali mulai bersiap. Lututnya ditekukkan sedikit, para penonton mulai fokus memperhatikan. Wasit segera mengisyaratkan untuk memulai. Ali sudah bergerak maju, lincah melewati empat temannya sekaligus di bagian depan. Dihalangi satu temannya, dia melenting dengan sangat ringan. Empat lainnya sudah membuat blokade dekat ring basket, dan kini Ali sengaja melakukan gerakan tipuan. Tipuan sana, tipuan sini, para penonton mulai bersorak. Melenting ke sana, melenting ke sini, para penonton bersorak lebih keras hingga akhirnya Ali melemparkan bola basketnya ke dalam ring dalam jarak cukup jauh, lima meter.

Para penonton terkesima dengan gerakan tangkas Ali. Aku juga tidak menyangka Si Biang Kerok sudah berkembang secepat itu. Seruan-seruan terus-menerus terdengar. Hingga akhirnya Ali maju kembali ke depan lapangan, mengambil mic dari genggaman tangan pembawa acara.

"Kalian harus tahu, aku bisa begini bukan karena tiba-tiba, heh. Ada yang selalu kulakukan sebelum bermain. Apa kalian tahu?" Ali bergaya di depan lapangan. Penonton serempak menjawab tidak.

Aku masih memperhatikan Ali. Jika Si Biang Kerok itu nanti membicarakan soal kekuatannya, rahasia dunia paralel pasti terbongkar.

"Apa yang akan kita lakukan, Ra?" Seli di sampingku akhirnya berbicara setelah kami terdiam sekian lama.

"Aku tak mungkin harus memukulnya dengan pukulan berdentum agar membereskan otaknya kan, Sel? Atau aku harus ke tengah lapangan lalu memegang lengannya, teleportasi. Atau mana mungkin kamu akan menggunakan teknik kinetikmu untuk mengangkat Ali lalu melemparnya ke antah berantah."

Seli menggeleng. Mana mungkin itu kulakukan. Itu artinya sama saja, malah aku dan Seli yang akan membocorkan rahasia.

"Baiklah, jika kalian ingin tahu, akan kuungkapkan rahasianya." Ali menegakkan badan. Matanya seperti menyapu satu persatu penonton. Lalu dia menunjukku.

Aku?

"Rahasianya adalah Raib."

Eh?

Para penonton sekarang mengalihkan pandangan ke arahku. Menatap dengan berbagai ekspresi.

Aku memelotot, menatap Ali. Apa maksudnya?

"Iya, kamu, Ra. Ayo maju ke depan." Ali menggerakkan jari-jarinya, mengisyaratkan untuk maju.

Ah, apa yang bisa kulakukan lagi? Mana mungkin aku menolaknya? Nanti para penonton malah bertanya-tanya terus menerus. Dengan wajah kesal aku maju ke depan lapangan. Menghadap Ali, menatap dengan wajah penuh tanya. Lalu aku berdiri di sampingnya. Semoga saja dia tidak mempermalukanku.

"Rekan-rekan sekalian! Kunci dari semangatku adalah orang yang meremehkanku. Sekarang kalian sudah tahu. Iya, Raib adalah sahabatku. Dia selalu tidak percaya bahwa aku bisa bermain bola basket. Dia selalu mencari celah untuk memojokkanku. Dan kini aku bisa membuktikannya dengan lebih baik. Aku berkembang. Bagaimana, Raib? Kau terkesan?"

Wajahku menghangat. Hei, apa-apaan itu! Dia terus terang sekali.

"Apa-apaan sih, Ali!" Aku mengerutkan kening, menatap Ali yang masih tersenyum pada penonton. Para penonton saling berbisik, menatap tidak percaya.

"Kenapa? Aku tak berbohong. Raib-lah kunciku untuk semangat terus bermain basket. Kalian harus tahu, dulu aku selalu diremehkan saat masuk klub bola basket dengan jalur istimewa, masuk di tengah semester kelas sepuluh. Aku dikira curang bermain, padahal mana mungkin, kan? Itulah yang selalu aku lakukan sebelum bermain basket, memikirkan kata-kata Raib yang tidak percaya denganku. Memikirkan bagaimana wajah mengejeknya. Memikirkan bagaimana ekspresinya jika tahu aku lebih hebat dari sebelumnya."

Wajahku entah jadi apa sekarang. Ali mempermalukanku di depan umum.

"Karena itu, terimakasih, Ra." Ali sekarang menatapku, tersenyum. Aku terkejut. Apanya yang harus diterimakasihkan?

"Karena sudah kubilang, kan? Kamu adalah kunci semangatku. Kamu orang yang membuatku termotivasi. Walaupun caramu begitu, aku yakin kamu setidaknya memberikan semangat dari hati yang terdalam." Ali memutar badan, menghadapku.

Ugh. Mukaku entah harus ditaruh di mana sekarang. Bukan malu lagi yang kurasa, sekarang seperti berganti dengan sesuatu. Ah, apalah itu, daripada memedulikan emosi, lebih baik jika aku menjadi logis sekarang. Kalau saja ini bukan di sekolah, sudah kukeluarkan pukulan berdentum.

"Sama-sama, Ali. Bagaimanapun juga kita tetap sahabat. Karena dulu aku tidak percaya saja, anak lelaki yang paling pendek di antara kakak-kakak kelas dua belas tim basket sekolah. Sekarang ternyata benar saja, kau jago." Aku tersenyum, mengulurkan tangan.

Ali membalas uluran tanganku. Kami bersalaman. Rasanya aneh juga, aku seperti sangat jarang bersalaman seperti ini dengannya.

Dan di saat itu juga kerumunan penonton bersorak kembali. Malah ada yang bersiul.

Bel masuk kelas sudah berdering nyaring.

***

"Hihihi." Seli di sebelah kursiku tertawa.

"Apa sih, Sel? Aku menatap malas Seli. Sekarang pelajaran Bahasa Inggris, diajari oleh Mr. Theo, guru favoritku. Daritadi Seli selalu saja tertawa kecil.

"Ayolah, Ra. Aku malah terus memikirkan apa yang tadi terjadi di lapangan, antara kau dan Ali." Seli berbisik menahan tawa.

"Ayolah, lupakan itu." Aku mendelik. Ali masih di luar kelas, berganti seragam. Jadi dia tidak mungkin mendengarnya. Aku berusaha menutup mulut Seli, kesal juga terus mendengarnya membicarakan aku dan Ali. Tapi Seli berhasil menghindar. Aku terus berusaha menutup mulutnya lagi, tapi dia selalu berhasil menghindar lagi.

"Raib, ayo baca teksnya!" Mr. Theo berdeham. Kami memang sedang dalam materi 'reading', membaca teks. Aku berhenti melakukan gerakanku pada Seli, segera membuka buku paket. Aduh, yang mana pula. Terlalu asik dengan Seli membuatku tidak mendengarkan Mr. Theo. Untung Johan membantu memberitahu halaman apa yang harus dibaca.

Saat aku bersiap melepas suara, pintu kelas diketuk. Mr. Theo membukanya. Ali. Dia baru masuk ke kelas.

"Maaf Pak, saya baru ganti seragam setelah demonstrasi klub."

"Oh, iya. Tak apa, Ali. Silakan masuk."

Ali masuk dengan seragam rapi (lagi). Rambutnya dirapikan, terlihat keren, basah oleh air. Ali duduk di kursinya, di belakangku. Langsung mengipas-ngipaskan tangannya untuk mengusir gerah. Di hari yang panas begini dia malah tampil olahraga. Aku menyeringainya. Ali balas menatapku, tersenyum. Aku membalikkan kembali pandanganku. Saatnya membaca teks.

Sepertinya seisi kelas dari tadi melihat kami.

***

RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang