EPISODE 13

4.1K 295 53
                                    

"Meooong." Si Putih membangunkanku. Aku mengucek mata. Yang kulihat pertama kali adalah fajar di langit. Indah. Udara dingin tetap menusuk tulang.

Aku beranjak dari kursi, menyingkap selimut. Tunggu, sejak kapan aku pakai selimut? Dan sejak kapan aku memasang bantal di sandaran kursi belajarku? Apa Mama yang memasangkan? Astaga, aku baru sadar aku tidak menutup jendela tadi malam. Bagaimana jika ada orang asing masuk ke kamarku? Aku baru menyadari hal ganjil ini.

"Ra, bangun!" Suara Mama terdengar dari lantai bawah. Aku segera beranjak dari kursi, bergegas menuju kamar mandi.

Mandi pagi yang segar. Aku menghembuskan nafas perlahan, sayangnya pikiranku tidak segar sama sekali.

Setelah memantaskan diri di depan cermin, memasang jepit dari Ali, aku turun ke lantai bawah, sarapan. Mama sudah menyiapkan hidangan pagi yang lezat.

"Aduh, Ra, ayo cepat, sudah jam berapa ini? Papa, cepat turun! Anak dan Papa kelakuannya sama saja."

Aku sudah duduk di meja makan. Papa juga akhirnya turun. Kami segera memulai sarapan bersama.

"Ma," Aku menatap Mama, sedang mengunyah sarapan.

"Kenapa, Ra? Mau tambah nasi?" Mama menoleh ke arahku, aku menggeleng.

Papa tertawa, "Mama ini, kalau Ra menambah porsi makan terus, bisa-bisa Ra jadi gendut."

Aku menggeleng lagi, "Ra tidak mau tambah nasi," Aku mencari kata-kata yang tepat. "Apa tadi malam Mama ke kamar Ra?"

Mama dan Papa saling tatap, Papa mengangkat bahu. "Mama tidak biasa masuk ke kamarmu malam-malam, Ra. Kamu bilang itu waktu privasimu. Kamu suka marah jika Mama masuk ke kamarmu malam-malam." Mama tertawa.

Aku memainkan helai rambut, iya juga. Lalu siapa? Aku mencoba melupakan kejadian ini. Setidaknya aku tidak kenapa-napa.

Sarapan berjalan dengan lancar. Kami seperti biasanya selalu mengobrol ringan. Aku rasa aku belum berani untuk bilang tentang orang-tua kandungku. Biar nanti saja mereka tahu, aku tidak mau membuat mereka ikut sedih. Akhir-akhir ini mereka ceria sekali.

Seperti hari-hari biasanya, aku berangkat ke sekolah bersama Papa. Mobil yang dikemudikan Papa sudah melaju menuju jalan raya. Papa sedang fokus menyetir. Aku menopang dagu, menatap jalanan yang mulai padat.

"Kamu bengong terus, Ra. Mikirin siapa?" Perkataan Papa seketika membuatku tersentak.

"Eh, Ra tidak memikirkan siapa-siapa, Pa." Aku mengangkat satu alisku.

Papa tertawa, "Masa' sih?"

Aku menggembungkan pipi. Tetap menatap ke jalanan.

"Iya, Ra, iya. Papa percaya deh." Papa mengacak rambutku.

Sebenarnya, sejak tadi aku memikirkan tentang cerita itu, bukan, sejak kemarin-kemarin. Aku sudah memutuskan ingin bercerita ke dua sahabatku, Seli dan Ali. Bagaimana aku memulainya? Aku mungkin tidak akan masalah bercerita dengan Seli, tapi dengan Ali berbeda. Aku tahu mereka sudah tahu ceritanya--kami mengetahuinya bersama. Tapi tetap saja, aku tak bisa menahan diri, ingin mengeluarkan semua isi hati ini.

Mobil yang Papa kemudikan sudah sampai ke depan gerbang sekolahku.

Aku mencium tangan Papa, keluar dari mobil. Gerbang sekolah masih cukup sepi.

RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang