EPISODE 23

4.3K 297 97
                                    

"Apa maksudmu, Seli?" Kini aku menatap serius.

"Kamu 'bodoh', Ali. 'b-o-d-o-h'." Suara Seli tercekat.

"Aku tidak biasa menyebutmu 'bodoh'. Kamu memang terlalu genius untuk bisa dibilang begitu. Kamu lebih pintar dariku dalam segala hal. Kecuali yang satu ini."

"Kamu tidak mengerti Raib." Seli mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca.

Aku terdiam.

"Aku tahu kamu akhir-akhir ini menyibukkan diri karena harus mencari tahu tentang masalah Miss Selena. Aku sangat menghargai kerja kerasmu.

"Aku tahu kamu tidak mengajak kami bersamamu karena Raib. Kamu ingin Raib bisa ceria kembali, tidak terlalu sedih sebelum kita berangkat berpetualang bersama lagi. Menurutmu Raib sedih karena dia tahu kenyataan pahit tentang orangtua kandungnya, Ibunya yang meninggal dan Ayahnya yang entah di mana sekarang. Untuk seorang anak yang sudah bertahun-tahun mencari tahu hal itu, pasti sangat menyakitkan.

"Tapi kesedihan Raib bukan itu saja, Ali. Kamu juga ikut berperan dalam kesedihannya, membuatnya terlarut dalam pertanyaan-pertanyaan barunya.

"Kamu ke mana saja, Ali?" Seli menatapku tanpa berkedip.

Aku balas menatapnya, berusaha mencerna.

"Aku hanya tidak mau mengganggu Raib, Seli. Kamu tahu? Sikap itu selalu keluar kapan saja. Aku selalu menyesal ketika baru saja mengatakan hal yang seharusnya tidak kuucapkan padanya. Aku sendiri tidak tega jika harus melihatnya sedih seperti itu. Jadi lebih baik aku diam. Setidaknya berhenti untuk mencari perhatian." Aku mulai bersuara, memalingkan pandanganku. Aku tidak mau melihatnya seperti ini.

"Raib memang terlihat seperti tak ingin kamu ganggu, tapi lama kelamaan itu menjadi kebiasaan kalian setiap saat. Seolah-olah telah menjadi rutinitas bahkan prioritas untuk Raib." Seli menatapku lamat-lamat, bablas sekali dia.

"Lalu aku melihatmu yang tiba-tiba saja selalu cuek padanya, bahkan tidak memperhatikan. Asal kamu tahu saja, itu malah memperparah dirinya, Ali." Seli meremas jemarinya, kilatan cahaya muncul dari kepalan tangannya.

"Sehari setelah mengetahui kenyataan pahit itu, Raib mulai menjadi pendiam, kamu juga mulai cuek padanya. Aku menawari Raib untuk bercerita. Tapi dia menolak, lebih memilih pulang sekolah dengan cepat. Kudengar dia ada acara makan malam keluarga, mungkin dia ingin bercerita pada orangtuanya dulu.

"Nyatanya aku tidak bisa tenang, Ali. Aku khawatir dengan Raib. Di malam itu, aku keluar dari rumahku, bersembunyi di dekat pohon di halaman rumahnya. Aku melihatnya membuka jendela, menatap bulan purnama bersama Si Putih.

"Aku tidak tahu dia merenungkan apa, tapi aku seakan tahu apa yang dia ucapkan dari tatapan matanya, ekspresinya. Ibu, Ayah, Seli, Ali. Dia menyebutkan hal itu. Air matanya menetes terus menerus. Aku tertegun melihat wajahnya yang bercahaya bagai purnama. Purnama yang menangis.

"Dia terus memandang bulan purnama sambil meneteskan air mata, sekali-kali tersendat, hingga dia tetap tertidur sambil menangis. Aku masih memperhatikannya dari pohon.

"Sampai saat aku hendak bergerak, suatu cahaya masuk ke dalam kamar Raib. Cahaya bulan yang amat indah, selaras dengan wajah Raib yang masih bersinar. Aku memutuskan tetap memperhatikan. Cahaya itu seakan berbicara sendiri pada Raib. Suasana di sekitarnya menjadi tenang. Aku tidak tahu cahaya apa itu. Cahaya itu memang tidak mampu menghentikan tangis Raib, tapi bisa membuatnya tersenyum. Sepertinya ada suatu interaksi alam yang terjadi, khusus untuk Putri Bulan.

"Cukup lama aku menunggu, Raib sudah tertidur tenang karena cahaya itu. Aku mulai memanjat ke kamarnya, mengambil selimut, memasangkannya. Dia akan kedinginan jika tidur dengan posisi di depan jendela. Saat itu sudah tengah malam, aku tetap menunggui Raib. Kali ini di antara dahan pohon. Aku menjaganya semalaman. Kurasa Raib sudah baik-baik saja, nyatanya tidak. Dia terus memikirkan banyak hal, membuatnya pusing karenanya. Sepertinya dia bahkan melakukan lebih banyak teknik penyembuhan daripada yang kita lihat. Dia ingin kita berdua ada di sampingnya, mendengarkan ceritanya, bukan bersamaku saja. Kamu juga, Ali.

RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang