3. Penjara

415 33 3
                                    

PENJARA,

adalah sebuah mimpi buruk bagi semua orang. Dimana sebuah tempat yang menampung pelaku penyimpangan, dan menjadi tempat yang paling dihindari oleh siapapun.

Bahkan oleh seorang Zion sekalipun.

Menjadi salah satu penghuninya membuat ia berpikir bahwa sebuah 'penjara' tidak lah seburuk itu, bukan berarti ia menyarankan kalian untuk mencobanya—tidak! Jangan pernah.

Mencapai umur delapan belas tahun dalam kondisi terkurung membuatnya mendapatkan jati diri yang sempat tak dapat ia kendalikan. Ia tidak pernah merencanakan apa yang ingin ia jalani dalam masa hidupnya, namun meniup lilin ulang tahun di atas puding yang dibawa oleh rekan lapasnya adalah sesuatu yang benar-benat tidak pernah melintas di eskpetasinya.

"Ketika kamu pergi meninggalkan sebuah tempat, kamu akan merindukan suasananya. Namun, penjara tidak termasuk. Kamu tidak akan merindukan suasananya dan tidak berpikir untuk menginginkannya kembali. Penjara akan menyisakan sebuah pelajaran untuk diri sendiri, bawa itu, dan jangan pernah mencoba untuk berpikir kembali—ke neraka buatan ini."

Itu adalah pesan dari seorang pria setengah paruh baya yang berada satu sel dengannya. Tujuh hari pertama Zion tak berbincang dengan siapapun, yang ia lakukan hanyalah membaca, tidur, makan dan melamun. Pria paruh baya itu mendatanginya sekaligus mengajaknya berbicara.

"Kelamaan ga ngomong bisa jadi bisu. Hati-hati."

Zion tertampar oleh sebuah kenyataan, dimana tidaklah semua orang yang selalu berada disebelah kita akan terus begitu ketika kita terjatuh. Dan Zion tidak butuh sampah seperti mereka.

Dan siapa saja yang setia berada di belakangnya ketika ia terjatuh..?

Ya.. itu mereka. Gerombolan orang-orang yang baru saja mendatanginya ketika ia baru merasakan dunia bebas.

"YAAMPUN MABRO! WEALAH, MASIH BENING COK! GA HABIS PIKIR AKU!" teriak Bimo turun dari motornya dan hendak memeluk Zion yang menghindar karena geli.

"Welcome, bro." Aldo—si pria berkulit hitam manis itu menepuk bahunya tegas, "yang lain nunggu di markas."

"Welcome, ma friend. Thanks, udah bertahan." Xander—si bule pindahan dari London memeluknya singkat.

"Sama gue kok lo ga mau dipeluk?" protes Bimo.

"Diem lo, njing."

"Ya tuhann! Makasih! Makasih... masih Zion ternyata. Ngegasnya masih lancar. Alhamdulillah." Bimo nyaris sujud syukur namun Aldi lebih dulu menahannya, bukannya gimana tapi malu-maluin.

"Sumpah, gue takut pas lo keluar malah tobat. Kan ga asik, ngegas itu udah jadi bagian dari inti diri lo. Ga boleh hilang."

"Contoh teman yang menyesatkan." Bintang— satu satunya anggota perempuan di geng mereka mengejek, "buang aja Yon."

"Dia juga sering ngomongin lo dibelakang, katanya hari dia indah tanpa bacotan seorang Zion." Anto ikut memanasi.

"Penipuan, yang ada gue ngomong hari gue itu kagak indah gara-gara ga denger bacotan dari Zion!" Bimo membela dirinya dan tiba-tiba Zion merangkul pundaknya dari belakang.

"Yaudah, sat. Mulai sekarang hidup lo bakalan lebih indah, siap-siap." Zion memperingatkan, Bimo yang keasikan dirangkul nyaris ingin memeluk Zion yang langsung menghindarinya.

"Kan kangen." rengek Bimo, "eh gimana kalau kita bawa Zion dulu ke pak ustad? Bagus ga ide gue?"

"Ga, ga bagus. Kayak mukamu." celetuk Bintang.

ZIONID. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang