17. Erpan

201 21 2
                                    

Ia pikir Dika tak akan pulang ke rumah, ternyata pemikirannya salah. Motor Aslan dan motor Dika terparkir di depan rumahnya. Ia benar-benar lega melihatnya, setidaknya ia tidak perlu khawatir memikirkan Dika yang entah kemana.

Menyadari dirinya sudah masuk ke dalam rumah Dika yang terlihat bersandar di sofa menoleh tajam.

"Lo pulang sama siapa?" Tanya Aslan yang tengah memegang kotak P3K.

"Sama—"

"Lo udah gila?" Sinis Dika tiba-tiba memotong ucapannya. "Bisa-bisanya dateng ke sana dan buat kacau semuanya!!"

"Udah lah, Ka. Lagian kalau dia ga dateng lo bisa aja di buat mampus sama Zion," ucap Aslan menyahut.

"Gue masih bisa lawan, Lan! Gue ga lemah kok."

"Aku capek nanya ini berkali-kali tapi masalah kalian itu apa sih sebenernya? Dan kenapa kak Dika masih bergaul sama anak-anak itu?" Tanya Airy. Ia tahu abangnya pernah menjadi salah satu anggota geng bernama Denox, namun perkumpulan itu di bubarkan oleh pihak sekolah dengan ancaman yang masih bersikeras menjadi anggota Denox akan dikeluarkan dari sekolah.

Semenjak keluar dari Denox Dika terlihat berubah. Ia jarang keluar larut malam, jarang berkelahi, jarang merokok dan jarang tawuran. Ia juga lebih rajin masuk sekolah dan akhir-akhir ini ia berulah lagi. Airy tidak bisa menyalahkan perkumpulan tersebut, karena pada dasarnya tingkah laku bergantung pada pribadinya masing-masing.

"Zion udah buat geng Denox bubar! Kita ga bisa biarin Aveonid masih utuh sedangkan Denox harus bubar, sekarang paham?"

"Sekali lagi lo ikut campur masalah gue, gue ga segan-segan cabut dari rumah. Gue udah nahan diri selama ini buat tinggal sama lo, jangan bikin gue tambah emosi," tambah Dika penuh penekanan.

"Ka, lo ga perlu sejauh itu," tegur Aslan.

"Dia emang perlu diginiin biar ga semau-maunya lagi, kalau sampe tadi geng Aveonid nahan dia kan udah nambah masalah, ga guna, buang buang waktu aja."

"Dia cuma berusaha buat bantu abangnya, salah?" Balas Aslan.

"Gue ga pernah minta bantu sama dia, gue ga pernah ngurusin masalahnya dan terus kenapa dia harus sok ikut campur? Dia pikir gue bakal kasian sama dia yang udah berusaha buat nolong gue? Engga! Andai aja dia gak dateng, masalahnya udah selesai hari ini."

"Airy, lo mending masuk kamar dulu. Dika biar gue yang urus—"

"Lo pulang aja, Lan. Gue kudu ngomong sama dia," ucap Dika.

"Ya udah, ngomong aja. Gua ga bisa pulang sekarang tapi."

Dika kembali menatap Airy. "Ini yang terakhir lo ikut campur. Ga usah nyusahin gue. "

"Iya, andai aja semudah itu buat ga peduli. Kalau bisa udah dari dulu aku bodo amat. Aku ga bisa biarin hidup kak Dika hancur gitu aja cuma gara-gara masalah ini," tutur Airy.

"Gue selama ini udah nahan diri buat tinggal di sini gara-gara kasian sama lo, jangan ngelunjak. Gue udah delapan belas tahun, udah ngerti mana yang salah mana yang bener."

"Umur ga bisa jadi tolak ukur kedewasaan," balas Airy. "Berhenti berurusan sama mereka, kak. Aku ga mau kak Dika kena masalah lain lagi, cukup ini yang terakhir. Aku ga mau Tante kecewa sama kita, dia ga pernah nuntut kita buat jadi murid berprestasi, dia cuma berharap kita ga buat masalah yang berakhir buat dia kecewa."

"Tanpa lo kasi tau gue udah ngerti. Dan jangan ngatur gue."

"Terserah kak, terserah." Malas Airy.

"Iya, harusnya lo ngomong gitu dari tadi. Bodo amat aja sama urusan gue."

Dika ini bodoh apa bagaimana? Dia tidak mengerti bahwa Airy menyayanginya dan takut akan kehilangannya? Jika memang pria itu tidak sadar maka ayo kita bawa dia menjadi finalis orang terbodoh di dunia. Airy benci situasi ini.

ZIONID. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang