8. Jadian

4 2 0
                                    

Tempat yang sama dan hal yang sama gue lakuin dibelakang sekolah. Gak bedalah keadaan gue sama yang kemarin. Tapi hari ini gue harus berhati-hati biar gak jatuh lagi.

Gak jatuh lagi ya?

Gue langsung tersenyum miris pada diri gue. Gue kenapa gini sih? Kenapa gue berlebihan kayak gini hah?

Mina wake up. Lo masih waras.

Setelah gue udah lelah ngelampiaskan emosi gue kepada angin, dengan bodo amat gue berbaring diatas rumput-rumput.

Gue menatap lurus keatas.

Kata orang, kalo lagi sedih liat aja keatas dan langit lagi mempersiapkan sesuatu yang akan menghibur gue. Itu bener gak sih?

Gue menutup mata gue dan yang gue rasa gue lagi galau; gelisah galau merana. Becanda. Tapi serius deh.

Saking gue gak bisa keluarin emosi gue yaitu nangis akhirnya gue pura-pura menangis. Yah, siapa tau kan bisa keterusan.

"Miris gue liat nya."

Eh itu suaranya Minho dan apa, miris?

Benar aja, Minho lagi berdiri disamping gue. Lah kok gue gak dengar dia jalan? Jangan-jangan dia terbang?!

Gue mengelus dada gue, "Lo kok datang gak diundang kek setan aja. Untung gue gak tukang kaget." Ngapain lo elus dada lo buat redain kaget hah kalo namanya gak kaget.

Gue masih menatap dia dari bawah. Mager buat duduk, enakan juga rebahan.

Gue masih memperhatikan Minho yang kayaknya mau duduk bertapa disamping gue. Gue kayak korban yang mau didoain. Syialan.

"Lo udah dengar belom?" Ujar cowok itu sambil melirik gue yang enjoy rebahan dipadang rumput.

Alis gue terangkat. "Kayaknya belum." Ucap Minho sambil membuang muka.

HELO GAIS AKU GAK BISA DIGINIIN.

Nah kekepoan gue kambuh, "Soal apasih?"

"Entar aja. Gimana luka lo?"

Luka? Dihati gue apa dilutut gue? WKWK.

"Fine, fine aja tuh." Ucap gue sambil ngangkat sedikit kaki kanan gue yang udah gue cabut plesternya.

"Kenapa gak pake plester? Ntar infeksi, bentar gue bawa plester." Ucap Minho yang untuk pertama kalinya dengan nada khawatirnya. Udah gak galak kek kemarin.

Gue sempat mikir kalo dia cepet banget care sama orang ya? Padahal penampilannya kek bad boy gitu dan gak lupa kebiasaannya; bawa plester.

"Udah, gapapa. Udah kering juga." Tolak gue.

Dia melirik gue dengan tatapan serius, lagi. "Belum tentu itu udah sembuh. Lo tetap harus ngejaga luka lo biar gak infeksi."

Menjaga luka yang belum tentu udah sembuh ya? Jaganya kayak gimana kira-kira, Min? Gue jadi ngebayangin hal lain. Hal lain yang buat gue khawatir akan terjadi dihidup gue.

"Udah. Dengan plester luka lo jadi aman." Ucap Minho dan tanpa gue sadari, disana udah tertempel plester baru.

Biarlah Minho berkarya, Mina.

Dan untuk beberapa waktu, gue dan Minho terdiam. Kita berdua sama-sama memikirkan sesuatu. Tapi gue jadi penasaran, Minho mikirin apa?

"Mina?"

"Minho?"

Wah apaan ini. Tiba-tiba gue dan Minho sama-sama ngomong. Gak jodohkan? Pftt apaan sih, Mina. Pikiran lo itu gak jelas banget.

"Lo aja duluan." Ucap Minho sambil datar alias tanpa ekspresi.

Gue menggelengkan kepala gue. "Gak, lo aja."

"Gapapa, ladies first."

Gue melemparkan tatapan 'lo duluan atau lo gue tabok?' Ke Minho. Yup, dia beda sama gue. Dia lebih peka.

Akhirnya dia mengangguk, "Oke, gue duluan. Setelah gue bilang ini sih, ntah kenapa gue rasa lo bakal terluka dan sebelum gue bilang itu, gue mau bilang kalo gue siap bawain plester buat nutup luka lo." Ucap Minho yang gue gak tau itu basa-basi atau bukan. Dia kedengaran puitis banget pas bilang itu. Tapi maksudnya apa? Tolong deh Mina Gak pekaan.

Gue mengangguk doang. Iyain aja, dia belum ke pointnya yang sebenarnya.

Gak kayak tadi, Minho membuang muka tapi sekarang, dia menatap gue lekat kayak dulu Mingyu natap gue. Kok jadi dia sih?

Tapi sebelum gue siap buat dengerin omongan Minho, gue udah denger kata-kata yang bikin ngeng telinga gue.

"Mingyu jadian sama Lia tadi."

Sepertinya itu sama sekali bukan menghibur.

[END] a few things Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang