Delapan

99 40 71
                                    


Happy reading :)

"Banyak hal yang tidak kita mengerti di dunia ini. Salah satunya tentang perasaanku padamu."

--Fuji Rahayu Ningtia--


¤¤¤

Bel istirahat telah berbunyi sekitar 5 menit yang lalu. Kini, Haura tengah berjalan gontai menuju kantin sendirian.

Tadi, Dehan mengirim pesan pada Haura bahwa kedua bodyguard-nya itu telah lebih dulu ke kantin. Alhasil, Haura harus menyusul mereka sendirian. Lagi pula, perutnya juga sudah keroncongan dari tadi.

Saat ingin melangkahkan kakinya memasuki kantin. Langkah Haura terhenti karena melihat siapa yang sedang bersama kedua bodyguard-nya itu.

Dengan sedikit kesal, Haura mengurungkan niatnya untuk menghampiri mereka. Haura tidak lagi memedulikan perutnya yang sudah keroncongan. Selera makannya telah hilang karena melihat siapa yang sedang bersama kedua bodyguard-nya.

Haura lantas membalikkan badannya, menyeret kakinya menjauhi kantin.
Kini tujuannya adalah rooftop. Iya, Haura ingin sendiri dulu. Mencari ketenangan yang selama ini enggan untuk menghampirinya.

Kini, Haura sedang terduduk di rooftop dengan muka ditekuk.

"Ra!"

Panggilan seseorang dari belakang berhasil membuat Haura mengangkat kepala, menoleh ke arah sumber suara.

Melihat siapa yang datang, Haura lantas mengalihkan pandangannya kembali ke depan.
Tidak menyahuti panggilan seseorang itu.

"Ra." Panggilnya lagi setelah mendaratkan bokongnya di samping Haura.

Haura tetap diam tidak menanggapi orang tersebut.

"Lo kenapa?" Tetap tidak ada jawaban.

"Kenapa lo hobi bikin gue khawatir sih?" Ya, seseorang itu adalah Dehan. Orang yang selalu khawatir akan keadaan Haura. Orang yang selalu menganggap bahwa keselamatan Haura adalah tanggung jawabnya.

"Hei, Lihat gue!" Dehan lantas menangkupkan kedua telapak tangannya pada pipi Haura. Menatap Haura dengan sangat intens.

"Gue minta maaf soal yang kemaren, gue gak bermaksud bentak lo. Gue hanya takut kalau lo kenapa-kenapa," jelas Dehan yang masih menatap wajah Haura dengan intens.

Haura menyingkirkan tangan Dehan dari wajahnya. Pandangannya beralih ke depan.

"Lo bikin gue takut kemaren," ujar Haura.

"Gue minta maaf, gue hanya takut kalau lo kenapa. Gue merasa enggak becus buat jagain lo."

"Berhenti bilang bahwa keselamatan gue itu adalah tanggung jawab lo! Gue bukan anak kecil! Gue bisa jaga diri gue sendiri, Han."

"Itu emang udah jadi tanggung jawab gue. Gue udah janji sama oma untuk jagain lo."

"Perjanjian konyol." Haura tertawa hambar.

Dehan tidak menanggapi, pandangannya kini fokus ke wajah Haura. Menatapnya dalam-dalam.

"Kenapa lo nggak jadi ke kantin?" Suara Dehan kembali memecahkan keheningan di antara mereka.

"Gue hanya nggak suka ada orang lain di antara kita bertiga," jelas Haura.

"Loh, emang kenapa?"

"Gue nggak suka!"

Dehan lantas tersenyum, tangannya terangkat sambil mengacak-acak rambut Haura.

"Lo tenang aja, lo akan tetap jadi princes kita berdua kok."

"Berhenti panggil gue princes!"

"Iya iya." Dehan terkekeh.

"Kenapa lo nyusul gue ke sini?" tanya Haura.

"Lo pasti tau jawabannya apa."

"Khawatir lagi?" tebak Haura dan dibalas anggukan oleh Dehan.

"Udah jadi kewajiban gue untuk khawatir sama lo."

"Gak ada yang perlu di khawatirin, Han. Gue baik-baik aja."

Dehan tak menanggapi ucapan Haura. Dehan lantas mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Lalu menyerahkannya ke Haura.

"Makan dulu!" Dehan mengulurkan sebungkus roti ke Haura. Tadi, sebelum Dehan mengejar Haura, Dehan sempat membeli roti di kantin. Dehan tau, bahwa Haura belum sarapan dari tadi pagi.

Haura mengambil roti pemberian Dehan. Lalu memakannya dengan lahap.

Melihat hal itu, Dehan lantas tersenyum.

"Jadi, lo kemaren ke mana?" tanya Dehan meminta penjelasan kembali.

"Nggak ke mana-mana."

"Nggak ke mana-mana tapi pulangnya telat, hujan-hujanan lagi. Untung lo gak sakit."

"Gue cuma ke danau aja kok."

"Ngapain di sana?"

"Mencari ketenangan."

"Kalau mau cari ketenangan ke gue aja, nggak usah jauh-jauh."

"Apasih." Haura memukul lengan Dehan, membuat Dehan meringis kesakitan.

"Gak boleh kasar sama orang ganteng." Dehan mengingatkan sambil terkekeh.

Haura hanya memutar malas kedua bola matanya. Nggak Dehan, nggak Karen, kedua bodyguard-nya itu memiliki tingkat kepedean yang tinggi.

"Kemaren lo pulang sama siapa?" Dehan mengintrogasi lagi.

"Sama tukang ojek," jawab Haura asal.

"Emang tukang ojeknya mau ngantarin lo?"

"Lo lama-lama kayak Karen ya, ngeselin!"

"Tapi tetap gantengan gue dari pada Karen."

"Serah lo."

Dehan tertawa melihat wajah Haura yang kesal. Entah kenapa, sekarang Dehan udah kayak Karen. Hobi membuat Haura kesal.

"Lo ada coklat?" tanya Haura yang membuat Dehan menghentikan tawanya.

"Ada, tapi di kelas. Lo ambil aja."

"Gak jadi!"

"Kenapa?"

"Lagi nggak pengen ribut." Ya, jika Haura ke kelas Dehan. Otomatis Haura akan bertemu dengan anggota OSIS yang suka cari masalah dengannya--Tenia. Dan sekarang, Haura lagi tidak berminat untuk ribut.

"Tumben, biasanya paling suka kalau ribut sama orang." Haura tak menanggapi ucapan Dehan. Kini, hanya keheningan yang terjadi di antara mereka.

"Besok-besok kalau lo mau ke mana, bilang sama gue dulu."

"Emang lo siapa?"

"Sesorang yang selalu menemani lo, seseorang yang selalu khawatir akan keadaan lo." Ucapan Dehan berhasil membuat Haura terdiam.

Entahlah, Haura tak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya sekarang. Sikap Dehan yang selalu mengistimewakannya, membuat Haura tidak tau harus bagaimana.

Brukk!

Suara benda jatuh berhasil membuat Haura dan Dehan mengalihkan pandangannya ke sumber suara.

Dilihatnya tong sampah yang sudah tergelatak tak berdaya di lantai, membuat isinya berceceran ke sana-sini.

"Siapa di sana?"


****

Part ini khusus untuk Haura dan Dehan.
Jadi, maklumi saja kalau pendek.

Tanggapan kalian tentang chapter ini gimana?

Kalau suka, vote ya!

'Jadikan Al-qur'an sebagai bacaan utama.'

Salam hangat,
Fuji

HAURA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang