Dua puluh delapan

24 5 0
                                    

Happy reading!

"Terkadang, bersikap bodo amat mampu membuat kita menjadi jauh lebih baik."

***

Setelah dua hari menjalankan skornya, Haura kembali lagi ke sekolah. Kali ini ia datang bersama dengan cowok yang belakangan ini sering menemaninya, Arsya.

Saat Haura dan Arsya sampai di parkiran, banyak pasang mata yang menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan.

Namun, hal itu tetap tidak menggoyahkan seorang Haura untuk tetap bersikap bodo amat. Arsya yang melihat Haura seperti itu menarik kedua sudut bibirnya, membentuk Lekungan manis.

Setidaknya, Haura masih menjadi Haura yang ia kenal, yang tetap bersikap bodo amat dengan apapun yang terjadi.

Terkadang, bersikap bodo amat mampu membuat kita menjadi jauh lebih baik.

Haura dan Arsya pun berjalan di koridor tanpa satupun yang memulai pembicaraan.

"Lo udah sarapan tadi?" Akhirnya Arsya membuka suara.

Haura hanya membalas dengan gelengan singkat.

"Ya udah, yuk ke kantin," ajak Arsya.

"Gue langsung ke kelas aja," tolak Haura.

"Lo harus sarapan dulu, dari tadi malam lo cuma makan es krim."

Haura menghela nafasnya, mau tak mau ia harus menuruti kata Arsya. Munafik jika dia bilang kalau perutnya tidak lapar.

Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju kantin. Pastinya dihadapkan dengan tatapan para murid yang sedari tadi memperhatikan mereka.

"Lo pesen apa?" tanya Arsya saat mereka telah duduk di kursi kantin paling pojok.

"Samain aja," jawab Haura. Jawaban yang selalu diberikan oleh orang-orang yang malas untuk memilih makanan.

"Oke, gue pesenin dulu ya." Arsya pun beranjak meninggalkan Haura.

Mata Haura terus memandangi punggung cowok yang beberapa detik tadi sedang berbicara dengannya, cowok yang belakangan ini selalu menemaninya.

Entah kenapa, Haura semakin membukakan pintu untuk Arsya agar bisa masuk. Padahal dulu, Haura sangat sulit untuk menerima orang baru.

Saat sedang melamun memikirkan apa yang baru saja terjadi pada dirinya malam tadi. Seseorang datang menghampiri Haura.

"Wah, udah balik lagi nih ke sekolah," ucap orang itu dengan melipat kedua tangannya di depan dada.

Dia adalah Tenia. Okey, siapa lagi yang tidak kenal dengan Tenia. Seseorang yang selalu mencari masalah dengan Haura.

"Mau apa lagi Lo?" tanya Haura malas.

"Nggak mau apa-apa. Gue cuma mau nanya, gimana rasanya di-skor? Seru nggak? Atau mau ngulang lagi?"

Haura memutar malas kedua matanya. "Kalau nggak ada hal penting yang mau dibicarain, tolong menyingkir dari hadapan gue. Merusak pemandangan!"

Mendengar itu, Tenia langsung membesarkan bola matanya. Menatap Haura dengan tajam, seakan menahan emosi yang sudah bergejolak di dalam tubuhnya.

"Lo bener-be—" Ucapan Tenia terputus saat Arsya datang dengan membawa dua mangkok bakso.

"Ada apa ini?" tanya Arsya dengan dahi berkerut, sementara tangannya meletakkan bakso yang ia pesan tadi di atas meja.

"Eh ada Arsya." Tenia tersenyum canggung.

"Nggak papa kok, tadi gue cuma ngobrol sebentar aja," lanjut Tenia.

"Oh yaudah, lanjutin aja."

"Udah selesai kok, gue ke kelas dulu ya." Tenia pun pamit meninggalkan mereka berdua.

"Dimakan!"

"Ha?"

"Baksonya dimakan!" perintah Arsya.

"Iya-iya." Haura pun mulai memakan bakso yang dipesan oleh Arsya. Hanya ada keheningan di antara mereka.

Haura yang sibuk dengan baksonya dan Arsya yang sibuk memperhatikan Haura.

***

Jam pelajaran pertama sedang berlangsung.

Haura sedari tadi hanya melamun tanpa memperhatikan guru sejarah yang sibuk menjelaskan sesuatu yang sama sekali tidak Haura pahami.

Pikirannya kembali ke kejadian malam tadi. Di mana ia diperlakukan tidak pantas oleh Papanya di depan orang banyak.

Cacian itu, makian itu, tamparan itu, terbayang jelas dipikirannya, membuat Haura bergidik ngeri.

Hingga teriakan seseorang membuat lamunan Haura terputus.

"HAURA!" teriak orang itu yang ternyata adalah Bu Endang—guru sejarahnya.

"Kenapa Buk?" tanya Haura saat kesadarannya kembali.

"Kenapa-kenapa, kamu dari tadi saya perhatikan melamun terus!"

"Kalau mau ngelamun, jangan di sini karena ini tempat belajar!"

Haura hanya menghela nafasnya.

"Paham?!" sentak Bu Endang.

"Paham, Buk," jawab Haura dengan malas.

Setelah itu, Bu Endang kembali menerangkan pelajaran. Kali ini Haura memperhatikan Bu Endang, meskipun tidak paham sedikit pun atas apa yang disampaikan beliau. Suara Bu Endang lebih mirip dengan dongeng pengantar tidur.

***

Bel istirahat berbunyi. Haura dan Arsya telah berada di kantin tempat mereka makan tadi pagi.

Tidak seperti biasanya, kali ini Haura tidak menolak ajakan Arsya.

Saat sedang menunggu pesanan, dua orang yang begitu Haura kenali datang menghampiri mereka.

"Haura?"

°°°°

Hey tayo!

Kira-kira siapa ya yang datang?

Krisannya untuk capter ini boleh?👉👈

Btw, udah pencet bintangnya belum?
Kalau udah, makasiii yaaa

Lope sekobon<3

Salam manis,
Fuji

HAURA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang