Delapan

2.4K 382 34
                                    

Kenapa gue masih bertahan ngejar-ngejar Naya sejak zaman zygot sampai brengosan kayak sekarang? Jawabannya sederhana, karena gue percaya kekuatan sebuah gaya. Hukum satu Newton, setiap benda akan mempertahankan keadaan diam, atau bergerak lurus beraturan, kecuali ada gaya yang bekerja untuk mengubahnya.

Usaha yang gue lakukan selama ini adalah manifestasi dari masa kali percepatan yang tujuannya adalah mengubah perasaaan Naya ke gue. Semakin besar usaha gue, semakin besar pula perasaan Naya yang akan tumbuh untuk gue. Secara teoritis seharusnya begitu kan? Iya, seharusnya memang begitu. Tapi kenapa sampai sekarang itu anak masih lempeng-lempeng aja setelah gue mengerahkan segala daya dan upaya gue?

Dareen hanya butuh diam dan bernafas untuk membuat Naya tergila-gila. Sementara gue harus jungkir jempalik tapi gadis itu tetap saja tak bergeming. 

"Mamas!!! Ayo buruan bangun!" jerit Naya tepat di lubang telinga gue.

Kalau udah tidur, gue tak ubahnya beruang yang lagi hibernasi. Mau digoyang-goyang sampai gempa bumi sekalipun gue masih asyik ngorok dengan nada dasar A minor sambil bikin peta Indonesia di sarung bantal.

Tubuh gue menggeliat, "Lima menit lagi" gue menawar dengan suara serak sebelum kembali menyusup ke dalam selimut. 

"Ayo dong Mas! Anterin aku paragliding! Cuacanya bagus banget ini!" selimut gue disibak sekali lagi.

"Lima menit lagi aja" gue masih merem males-malesan.

"Ya udah, aku pergi sama temen cowokku aja!" kalimat itu sukses membuat gue membuka mata lebar-lebar.

"Eits! Nggak boleh. Mas anterin, tunggu Mas mandi dulu" cegah gue sebelum menguap lebar dan beringsut ke kamar mandi. 

"Jangan cuma cuci wajah lho! Sikat gigi sama mandi pakai sabun juga!" Naya teriak dari luar.

"Sabun Mas habis dek. Mandi air aja!"

"Lah kok bisa? Kan baru minggu kemarin beli?"

"Kamu sih nggak mau minjemin tangan. Ya Mas main pake sabun!" setelah itu pintu kamar mandi gue ditendang dari luar. Untung aja pintunya kuat. Kalau roboh udah terpampag ini morning glory gue yang imut-imut. 

Setelah lima menit dua puluh tujuh detik ritual di kamar mandi, gue keluar dengan pinggang terlilit handuk. Kanaya sedang sibuk mengobrak-abrik isi lemari mencari baju yang cocok untuk dipake hangout kali ini. 

"Topi item, Parisien T-shirt, celana denim" dia mengabsen baju yang akan gue kenakan satu-satu. Sementara itu, gue malah asyik liatin Kanaya dengan bahu bersandar ke tembok dan tangan terlipat di depan dada. "Converse Mamas taruh mana juga ini? Pasti kaos kakinya nggak pernah dicuci" perempuan itu berdecih sembari mengobrak-abrik rak sepatu gue. Dia kemudian berbalik hendak menanyakan sesuatu, "Mamas sepatu yang- aaaaaa!!" suara teriakannya melengking sempurna. Gadis itu segera menutup mata kemudian membalikkan badan. "Mamas kenapa nggak pake baju?"

"Itu bajunya kan baru kamu siapain" sahut gue enteng banget.

"Mamas nggak punya malu emang! Aku tunggu di depan. Buruan ganti!" ucapnya tanpa menoleh sedikit pun. 

Setelah selesai mengoleskan minyak rambut, gue cek sekali lagi penampilan gue di depan cermin. Oke, anak sulungnya Mami ini udah ganteng dan wangi. Siap kencan sama dedek cantik. 

Naya nangkring di boncengan motor vespa gue, lengkap dengan helm cokelat dan jaket wuwangnya. Begitu menyadari kehadiran gue, dia dadah-dadah menyuruh gue segera mendekat. 

"Udah dikunci kamarnya?" dia memastikan.

"Iya udah" jawab gue sembari memaki helm dan jaket.

"Nggak ada yang ketinggalan kan?" sekali lagi gadis itu memastikan. Maklum saja gue suka teledor dan paling pinter kalau suruh ngilangin barang. 

"Enggak. Yuk berangkat!" gue menyalakan mesin vespa lalu  menarik tangannya si cantik biar meluk gue dari belakang, "Pegangan yang kenceng. Mamas ugal-ugalan kalau di jalan."

"Iya tauk! Ini udah kenceng" dada Naya sampai nemplok ke punggung gue. Geli-geli gimana gitu, tapi gue suka. Hehe... semoga aja gue tetep bisa konsentrasi sepanjang jalan nanti .

Sejak kecil, gadis cantik gue itu sudah terobsesi dengan langit. Dia selalu menyukai hal-hal yang berhubungan dengan selimut raksasa di bawah atmosfer bumi itu. Mungkin dia akan tulatit jika harus dihadapkan pada rumus Matematika, tapi jika diminta menjelaskan fenomena langit, awan cirrus, stratus, cumulus, dan konstelasi langit lainnya, seakan tiada henti untaian kalimat keluar dari mulut kecilnya.

"Mamas.. Mamas.. liat deh." Naya yang duduk dibelakang nunjuk kumpulan awan berbentuk seperti permen kapas raksasa begitu kita membelok ke jalan perbukitan, "Itu namanya awan cumulus. Berarti hari ini bakalan cerah. Pas banget buat paragliding" celotehnya gembira.

"Nanti kalau Mamas nengok ke atas nabrak kita" gue masih berkonsentrasi pada jalanan yang mulai berkelak kelok. 

Tapi benar saja, Naya itu sudah seperti ramalan cuaca berjalan. Dia bisa memperkirakan bagaimana cuaca hari itu hanya dengan melihat tanda-tanda di sekitarnya. Pernah gue ngeyel, udah dibilangin bakalan turun hujan tapi masih nekat pergi. Alhasil gue beneran kehujanan di sepanjang jalan. 

"Mamas kalau pergi jangan lupa bawa jas hujan!" pinta Naya ke gue pada suatu pagi yang cerah sebelum berangkat ke kampus. 

"Ngapain bawa jas hujan segala?" pagi itu cuaca cukup cerah. Siapa sangka bakalan turun ujan.

"Nggak liat itu langitnya. Di sebelah timur udah banyak awan stratus gitu. Bakalan gerimis lama ini nanti" dia menunjuk ke langit sebelah timur.

"Kalau ujan juga nggak sampai sini" gue masih keras kepala.

"Tuh liat" Naya menunjuk pohon yang tertiup angin, "Orang arah anginnya ke barat. Bakalan sampai sini nanti."

Dan benar saja, hari itu gue harus pulang ujan-ujanan gara-gara kualat sama calon istri.

"Uhuk.. uhuk.." jadilah gue deman seharian.

"Ngeyel sih kamu!" Naya ngerawat gue semaleman, "Udah nih diminum obatnya!"

"Itu kan obat tablet dek. Digerus dulu! Mamas nggak bisa minum" saat sakit pun gue masih bisa pilih-pilih.

"Badan bongsor macem king kong gini tapi minum obat tablet aja nggak bisa. Ya udah bentar."

Bukan kali itu aja gue ngeyel sama Naya. Pernah pada suatu hari gue nekat pergi nonton bola padahal Naya udah ngingetin bakalan ujan angin sebentar lagi.

"Nggak liat itu. Awannya udah ngebentuk cummulonimbus. Bakalan ada angin kenceng nanti Mamas." Naya mencak-mencak di pagar pintu kos gue.

"Belum tentu juga kan arahnya ke stadion. Udah ah Mamas udah janjian sama anak-anak ini. Nanti telat."

"Dibilangin juga. Ya udahlah sono! Kalau kejatuhan seng terbang terus masuk rumah sakit  Naya nggak mau nengok!" dengan bibir mengerucut gadis itu berbalik dan pergi.

Tapi malam harinya, Naya tergopoh-gopoh pergi ke rumah sakit karena mendengar kabar gue masuk rumah sakit. Pake nangis-nangis histeris dikiranya gue kenapa-kenapa. Pasalnya, sebuah berita yang dilihatnya di televisi mengabarkan bahwa stadion tempat gue nonton bola luluh lantak karena serangan angin kencang.

"Udah nangisnya. Orang Mamas nggak papa. Nih dahi cuma kecium umbul-umbul terbang aja kok" gue ngelus-elus pundaknya.

"Mamas sih bandel. Padahal udah dibilangin coba. Untung nggak kena seng terbang" Naya mengambil ujung lengan baju gue dan memakainya untuk menghapus ingus di hidungnya. 

Srooot.. 

Karena ini ingusnya Naya, gue nggak jijik. Malah mesem-mesem kesenengan.

"Awas besok masih bandel lagi. Naya suntik pake suntikan kebo!" 

Mendengar nama suntikan disebut-sebut, gue auto ngangguk-angguk nurut.

Begitulah akuratnya ramalan cuaca berjalan gue. Selama ada Naya, gue nggak butuh aplikasi weather forecast. Dia selalu bisa membaca hamparan langit yang begitu tinggi dan luas.

Sayangnya cuma hamparan langit aja yang bisa dia baca, hati gue kagak. Nggak usah menghibur, gue nggak butuh hiburan.

Sky Before YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang