Tiga Puluh Tiga

1.7K 289 23
                                    

Gue masih merutuki diri gue sendiri karena pada akhirnya mengiyakan ajakan Naya. 

"Mamas jangan ngompol ya!" bisik Naya sebelum kita semua take off bareng-bareng. Kecepatan anginnya sudah diukur dan diperkirakan. Ketinggian bukit tempat kita akan melompat juga sudah dijamin aman. Awan cumulus yang bertebaran di angkasa menandakan cuaca akan baik-baik saja. Ini adalah hari yang tepat untuk paralayang.

Sebenernya kaki gue udah geter-geter. Ketinggian adalah ketakutan kedua gue setelah jarum suntik. Namun melihat betapa kerennya Dareen yang terlihat gagah di ujung sana, jelas hormon testosteron gue mengaung-ngaung nggak mau kalah. Dengan tangan masih pegangan pada ujung baju Naya gue mengelak, "Enak aja ngompol. Gini mah kecil!" Kalimat dan ekspresi wajah gue berbanding terbalik.

Kanaya menahan untuk tidak menertawakan gue. "Yang bener? Kata Mas Bulet, kemarin waktu uji coba penerbangan helikopter yang kiriman dari tangsi militer Semarang, Mamas ngumpet takut ditunjuk jadi co-pilot." Dia ngeledekin.

"Itu mah beda. Soalnya nggak cuma uji terbang aja waktu itu, tapi pendaratan darurat. Masak Mamas harus ikut uji loncat dari atas. Ya seremlah," gue begidik ngeri. 

"Sama aja. Ini malah langsung loncat dari tebing. Emang dasar Mamas aja yang penakut!" ledeknya. 

Gue cuma diem aja sambil prengat-prengut nggak bisa jawab. 

"Makanya Mamas latihan dong! Katanya mau jadi yang pertama menerbangkan pesawat tempur pertama buatan Indonesia. Masak loncat dari ketinggian aja nggak berani?" perempuan itu makin memojokkan gue.

"Kalau nerbangin kan kita angkrem di dalem mesin. Beda sama loncat, nggak ada tedeng aleng-alengnya. Nerbangin mah Mas berani, tapi kalau udah loncat itu loh dek. Hiii..," gue begidik membayangkan harus meluncur dari ketinggian sekian ratus meter di atas permukaan tanah. 

Bahu gue ditabok, "Tetep aja yang namanya jadi pilot harus bisa loncat dari ketinggian. Apalagi pilot pesawat militer. Nanti kalau di atas ada apa-apa dan jalan satu-satunya cuma loncat gimana? Makanya sini aku ajarin paralayang, biar kalau Mamas nanti harus loncat dari pesawat nggak kagok lagi!"

Gue garuk-garuk kepala. "Nggak ada cara lain apa, dek?"

"Mamas tuh kalau punya mimpi di kejar dong! Masak cuma gara-gara takut ketinggian nanti Mamas batal nerbangin pesawat militer. Kan nggak lucu!" lama-lama dia gemes sendiri. "Udah sini! Aku dorong Mamas loncat dari bukit!"

"Jangan serem-serem lah, dek. Kamu kayak mau bunuh Mamas ini loh!" gue berusaha tetep diem di tempat waktu Naya dorong badan gue dari belakang. 

"Rileks Mamas! Aku jamin aman!" Naya mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendorong badan gue.

"Dek, jangan gini dong! Kasih Mamas waktu buat siap-siap!" Gue teriak kayak bocah yang nggak mau disunat.

"Ya elah Mamas cupu banget. Tuh liat Dareen, udah cus meluncur!" 

Terdengar kerumunan ciwi-ciwi yang lagi heboh begitu Dareen mengambil ancang-ancang untuk menerbangkan kakinya dari atas tanah. Gue sempat melirik. Wuih keren juga ya? Padahal cuma paralayang, tapi gayanya udah kayak mau syuting iklan. 

Gue ngemis ke Naya. "Dek, barengan sama kamu aja ya? Kita berdua satu parasut, gimana?"

Dengan bengisnya Naya menolak, "Nggak! Mamas harus coba sendiri. Pokoknya Mamas harus berani!"

"Tapi.. tapi.. kalau Mamas mati gimana?" gue merajuk.

Kanaya memutar bola matanya. "Ini udah dikasih pengaman Mamas. Aku terbang di belakang Mamas deh nanti. Kalau ada apa-apa, langsung aku tangkep," dia meyakinkan.

Sky Before YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang