"Kamu sendiri juga tau kan kalau Mamas suka sama kamu?"
Itu adalah pertanyaan paling berat yang pernah diutarakan padaku. Ingin rasanya aku rengkuh lelaki itu lalu mengakui betapa selama ini aku juga mencintainya. Tapi aku nggak bisa.
"Udah aku bilang berulang kali, jangan Mas," bibirku bergetar. Jangan sekarang. Kamu belum bisa terbang mengangkasa, Mas. Aku takut aku akan selalu menjadi jangkar yang menahan kakimu di bumi. Aku nggak mau itu terjadi, Mas.
"Aku juga nggak bisa ngontrol perasaan aku, dek!" dia menyahut. Ada luka yang begitu besar di matanya. Itu membuatku merasa lebih hancur.
"Apa Mamas pikir aku juga bisa mengontrol perasaan aku? Enggak Mas." Dadaku rasanya sesak. Aku tidak sanggup lagi berlarut-larut dalam pembicaraan ini.
"Setelah usaha Mamas selama ini, itu nggak cukup untuk membuka hati kamu?" dia meratap seperti bayi yang rapuh. Aku semakin mencaci diriku sendiri.
Tak terasa air mata turun di pipiku. "Aku sayang Mamas, tapi nggak gini caranya." Kali ini aku jujur. Tapi Mas Kallan tak mengerti arti di balik kalimatku.
"Dengerin aku baik-baik, dek!" dia memegang kedua bahuku. "Mamas bisa lakuin apa aja buat kamu. Bahkan Mamas nggak masalah bila harus nunggu kamu sampai kapan pun. Tapi, apa bener-bener nggak ada harapan buat Mamas?"
Ini yang aku takutkan. Lelaki itu tidak akan memperdulikan apapun jika sudah berkaitan denganku. Bahkan dirinya sendiri juga tidak dia pedulikan.
Jika aku terus menerus berada di sisinya, aku hanya akan menjadi batu sandungan untuknya berkarya. Satu-satunya jalan adalah menghancurkan lelaki itu hingga namaku terhapus dari hatinya. Dengan begitu, Mas Kallan akan lebih bisa fokus berkarya. Dia tidak perlu sibuk memikirkanku. Dia tidak perlu sibuk mengurusi masalah-masalahku.
Mas Kallan harus mampu hidup dalam dunia tanpa ada aku di sana.
Maaf, Mas. Ini adalah hal terbaik yang bisa aku lakukan untuk Mas Kallan.
"Tolong jangan paksa aku, Mas. Maaf..." Itu adalah kalimat terakhir sebelum aku berlari pergi meninggalkannya.
***
Aku menelepon Ayah, memintanya menjemputku pulang. Inilah saat yang tepat bagiku untuk menghilang dari kehidupan Mas Kallan. Sudah sejauh ini aku berusaha mengantarkan Mas Kallan menyambut mimpi-mimpinya. Aku tidak boleh lemah. Aku paksa kakiku untuk melangkah pergi, meski hatiku terburai perih.
Ayah tau aku menangis. Dia sama sekali tidak menanggalkan teleponnya sampai aku bisa tertidur. Saat membuka mata, Ayah sudah sampai di wisma. Senyumnya adalah yang pertama aku lihat. Dia mengelus rambutku penuh sayang. Aku langsung menghambur ke pelukan lelaki paruh baya itu.
"Anak Ayah!" dia balas memelukku lebih erat, seolah tahu kalau itu adalah hal yang paling aku butuhkan sekarang. "Ayah pengen nanya kamu baik-baik aja apa enggak. Tapi pasti jawabannya enggak," Ayah menciumi pucuk kepalaku.
Aku mendongak. "Ayah emang paling tahu," aku memaksakan senyum di antara wajah sembabku.
Dia mendesah berat. "Rasanya Ayah pengen mukul orang yang udah bikin kamu nangis sampai merah gini matanya. Tapi Ayah nggak bisa. Nanti kamu tambah sedih. Huh, gini banget punya anak cewek yang lagi kasmaran."
Aku tersenyum lebih lebar. "Ayah emang yang terbaik!" pujiku.
"Kamu yakin mau ngelakuin ini?" Ayah bertanya sekali lagi. Mungkin dia tidak ingin aku menyesal pada akhirnya.
Namun tekadku sudah bulat. "Iya, Yah. Naya yakin!"
"Oke, kalau gitu kita pulang sekarang. Kamu jangan khawatir, Ayah pastikan nanti di sini Kallan kerja dengan bener. Ayah juga bakalan pasang mata-mata biar dia nggak main cewek lain. Awas aja kalau berani, setelah apa yang kamu korbankan selama ini. Biar Ayah sunat dua kali kalau dia macem-macem. Tenang aja, kamu punya Ayah yang selalu ada buat kamu!" hibur Ayah membuat suasana hatiku menjadi lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky Before You
RomantizmCita-cita gue gak muluk2, cuma menanamkan benih di rahim Dek Kanaya aja. Nunggu sembilan bulan lalu taraaa... gue jadi bapak paling hots seantero pulau Jawa. Tapi gimana mau bercocok tanam kalau lahannya galak kayak gitu, mana bapaknya Jenderal lag...