Tiga Puluh

1.7K 280 65
                                    

Sisa perjalanan mendaki bukit turuni lembah gue lalui dengan hati riang. Dari tadi tangan gue digandeng nggak dilepas-lepas sama Naya. Hihihi... Sampai gue mampir pipis pun, ujung jaket gue dia pegangin terus.

"Udah belom Mamas pipisnya?" Badan Naya ngebelakangin gue. Kita terpisah oleh batang pohon yang cukup besar. Tangannya masih sibuk ngolor-olor ujung jaket gue, biar guenya nggak kabur dan pipis sembarangan. Katanya kalau pipis sembarangan di hutan belantara kek gini bisa kualat. Kalau burung gue dikutuk gagal naik kan gue juga yang repot. 

"Bentar ini susah banget dipasin ke botol!" gue gerak-gerak kesusahan. Pasalnya, mulut botolnya terlalu kecil buat kepala burung gue.

"Awas lo jangan dipipisin sembarangan. Nanti Mamas buntung itunya dicolong Buto Ijo," dia wanti-wanti. 

"Jangan tarik-tarik baju Mamas dong! Tambah susah ini Mamas!" gue protes. Baru mau pas, si dedek narik gue mundur. Kapan bisa kelarnya kalau begini?

"Nanti kalau aku nggak megangin Mamas, Mamas kabur pipis sembarangan! Kirain Naya nggak tau apa isi pikiran Mamas!" dia nyembur gue. 

Gue mendengus, "Ya elah, Dek. Nggak percaya banget sama Mamas? Sejorok-joroknya Mamas, Mamas masih takut sama hantu. Nggak bakal Mamas pipis sembarangan," ucap gue meyakinkan.

"Beneran loh? Awas kalau bohong!" dia ngancem.

"Beneran. Sumprit!" gue bersungguh-sungguh.

"Ya udah Naya tunggu di sebelah situ ya. Cepetan pipisnya. Aku hitung sampai sepuluh harus udah kelar pipisnya. Tuh kita ketinggalan jauh gara-gara Mamas kebelet pipis!" Bidadari gue nunjuk ke rombongan yang udah berjalan jauh di depan. Keparat emang kunyuk-kunyuk itu, sama sekali nggak mau nungguin gue yang pengen melepaskan isi kandung kemih. 

Belum apa-apa , Naya udah mulai ngitung, "Sepuluh... sembilan..."

"Jangan cepet-cepet ngitungnya! Dihayatin dong!" gue protes sambil mancur.

Suara Naya pun memelan, ".. delapan... tujuh... enam... lima..."

"Dah selesai!" gue laporan sambil benerin restleting. 

"Jangan dilapin di celana loh! Cuci tangan!" Belum apa-apa Naya udah memperingatkan.

"Nggak percayaan banget sih sama Mamas. Siniin botol airnya biar Mamas bisa cuci tangan!" Naya ngelepas tutup botol air terus menyiramkannya di atas dua tangan gue. Pandangannya sama sekali nggak beralih dari tangan gue, memastikan keduanya tercuci dengan baik.

"Udah nih. Bersih!" gue laporan.

Naya ngambil tissue dari dalam tasnya buat ngelapin tangan basah gue sampai ke sela-sela jarinya. "Nah kalau bersih gini kan aku seneng gandengnya. Nggak kayak biasanya ada bekasan upil nelusup di kuku!" dia menyindir.

"Enggak ya! Fitnah!" gue membela diri. Harga diri dong! Sejak kapan di kuku gue ada upil!

"Udah yuk susulin mereka! Kita udah ketinggalan jauh ini!" Naya menautkan jari-jemari di antara kami lalu menarik gue kembali melanjutkan perjalanan. 

Guenya senyam-senyum. Kapan lagi digandeng bidadari kayak gini? 

"Nggak usah senyam-senyum. Giginya garing nanti!" tegur Naya tanpa menoleh ke gue. Lha? Tau dari mana dia kalau gue senyam-senyum?

"Kok tau sih?" gue nyengir sambil garuk-garuk kepala. 

"Mamas tuh kayak buku kebuka. Gampang banget di baca." Perempuan itu lalu menarik tangan gue ke pundaknya. Jadilah lengan gue mengalung di lehernya. Gue diem. Membiarkan wanita itu berlaku sesuka hati.

Naya membuat tubuh kami saling berdempet. Dia bahkan mengalungkan satu tangannya yang lain di pinggul gue. Di saat hati gue mulai kacau dengan skinship yang tiba-tiba ini, Naya membuka suaranya. "Aku capek jalannya. Aku gelendotan ya biar Mamas bisa bantu dorong aku sambil jalan," rengek wanita itu dengan santainya, seolah-olah kelakuannya itu nggak berefek sama sekali buat kesehatan jantung gue.

Sky Before YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang