Tiga Belas

2.6K 375 16
                                    

Acara mindah-mindah barang nggak pake lama. Bibik di rumah gue udah selesai menghidangkan makan besar ala ala restaurant Padang. Ceritanya emak gue mau menjamu tamu agung yang baru aja datang. Kan pasti laper tuh. Untung ada Bibik yang masakin. Kalau Mami yang masak siap-siap panggil ambulans dah.

"Ayok.. ayok nggak usah malu-malu. Sini dek Naya duduk deket Tante. Makan yang banyak. Kamu ini lho, kurus gini badannya." Emak gue ngambilin piring beserta dua centong besar yang langsung diambil alih sama bidadari surga.

"Biar Naya ambil sendiri aja Tante. Kan malah jadi ngerepotin" dia sungkan.

"Nih kamu milih mau lauknya apa. Ada ayam, ikan, daging, sama sayurnya. Kamu pilih sendiri ya" Mami mengabsen piring-piring hasil jernih payah Bibik.

"Iya Tante, makasih" ucap Naya sebelum mengambil telur dadar.

"Mih, Naya tuh nggak kurus. Tapi ramping. Pokoknya tampak depan, samping, belakang, perfect." gue mendistorsi perspektif ceritanya.

"Iya iya.. Mami dulu juga perfect. Sejak kamu nongol aja jadi bergambir kayak gini" pembelaan Mami bikin gue tertohok.

"Jadi semua salah Mamas gitu?"gue nggak terima.

"Terus salah siapa? Salah Mami?" pertanyaan gue dibalik.

"Bukan.." mana berani gue menentang Mami. Cari neraka apa? 

"Salahnya Papi tuh" gue lempar masalah.

"Kok jadi Papi?" yang dilempar tidak terima.

"Papi sih tidak bisa menjaga badan Mami tetep slim. Kalau bukan salah Papi salah siapa coba? Salah aku? Aku kan hadir karena Papi. Jadi semuanya bermuara di Papi. Wleek" julurin lidah ke orang tua dosa nggak ya?

"Iya iya. Salahin Papi aja semuanya. Tapi Mami tuh cantiknya nggak ilang kok cuma gara-gara badan aja." Mulai deh, orang tua gue nggak ada malunya apa ya? Padahal lagi ada tamu ini lho.

"Iih.. Papi. Mami jadi sayang" emak gue nempel-nempel lengannya Papi.

"Ehem... inget anak udah dua!" sindir Om Yah sebelum memasukkan paha ayang goreng ke mulutnya.

"Tuh Pi, ada yang iri hati" bisik Mami ke telinga Papi tapi cukup bisa didengar satu ruangan.

"Ngapain iri? Gue juga bisa! Sini Bun, ayah suapin. Aaaa..." mulai deh persaingan antara dua suami istri ini dimulai kembali. "Bundanya Naya nih walaupun makannya banyak tetep aja langsing."

"Emang aku makannya banyak ya Yah?" Tante Bunda balik nanya.

"Itu Bun, banyak untuk ukuran versi perempuan." Om Yah mengoreksi kalimat yang kemungkinan bisa menyebabkan perang dunia ketiga. "Kan Bunda kalau makan cantik. Pelan-pelan, tertata, nggak berceceran, pinter masak lagi" puji sang suami.

Mendengar hal itu tentu saja jiwa kompetitif Mami gue terbakar, "Mami juga bisa masak ya Pi ya? Coba sebutin Pi Mami paling pinter masak apa?" pertanyaan emak gue ke suaminya.

Yang ditanya malah ngelirikke gue, "Mas, apa Mas?" Nah loh, bingung kan jawabnya. Orang emak gue nggak bisa masak.

"Indomie" celutuk gue spontan bikin Mami langsung jadi barongan.

"Ppfff.." tentu saja itu suara tawa terbungkam Om Yah yang ingin meledek tapi lewat jalur aman.

"Loh Mi, Indomie kan banyak versi masakannya. Ada yang dibikin oseng, ada yang dibikin omelet, ada yang dibikin seblak, pokoknya banyak. Itu tandanya Mami pintar masak dengan berkreasi sendiri, tanpa terpaku pada resep yang ortodoks" gue menyelamatkan diri. Jangan sampai habis ini gue disuntik lagi gara-gara salah ngomong.

Mami gue mangut-mangut bangga tapi juga nahan kesel. "Anak Mami emang paling pinter kalau ngeles. Untung otak kamu encer. Nggak jadi disuntik dong sama Mami" Mami ngelus-ngelus rambut gue sambil tersenyum kaku.

"Hehehe.. kan berkat DNA otak Mami. Makasih ya Mi udah bikin Mamas pinter" sahut gue sebelum ngambil paha ayam goreng di piring depan Mami.

"Eits.. kamu makan Indomie aja sana. Ini kan Mami yang masak!" galaknya seketika.

"Orang Bibik kok yang masak!" gue nggak terima.

"Tetep aja yang goreng kan Mami!"

Gue manyun-manyun. Gara-gara salah ngomong nih, jadi gagal kan makan ayam goreng.

"Dek.." gue ngemis ke Naya, "Suapin Mamas dong. Mamas nggak boleh makan ayam nih. Aaa..." mulut gue udah terbuka lebar tapi dapat pelototan dari bapake si cantik.

"Eits! Jaga jarak satu meter sama anaknya Om! Awas ya kamu nempel-nempel!"

Ya elah, modus pertama gagal karena calon mertua yang posesif.

"Emang anak gue kuman nggak boleh nempel-nempel!" asik.. dibelain emak. Sapa suruh Om Yah cari masalah.

"Ya nggak gitu!" tuh kan mlempem.

"Dulu aja digendong-gendong, disayang-sayang, cem kedelai dari lahan sendiri. Sekarang gitu kamu sama Mamas?" Mami gue udah menggulung baju siap ngajak berantem.

"Kan itu dulu waktu masih imut-imut, sekarang..." Om Yah tidak meneruskan kalimatnya.

"Sekarang apa? Mau bilang amit-amit gitu!" emak gue makin nyalak bikin Om Yah mendelep seketika.

"Enggak. Tetep imut-imut" ucapnya malas sebelum memenuhi mulutnya dengan paha ayam lalu mengunyah dagingnya dengan brutal.

Gue yang dipanggil imut-imut pun nyengir, "Hehe... makasih Om." Setelah itu fokus gue pindah ke Naya, "Ini tadi Mamas goreng sendiri lho buat kamu. Dipake makan bawang gorengnya!" gue nyodorin setoples penuh bawang goreng.

"Oh, kamu ngupasin bawang sampai nangis-nangis itu buat Naya toh?" Mami gue buka kartu.

"Iya dek. Nih liat, mata Mamas masih merah kan? Ditiupin dong!" gue ngelunjak.

"Ekhem.." suara deheman Om Yah yang sangat keras seolah mengingatkan gue biar nggak macem-macem sama anaknya.

"EKHEM..!" Mami ikut-ikutan berdehem lebih keras menantang Om Yah kalau berani gangguin gue.

Bener aja, Om Yah macem keong yang langsung nyungsep ke dalam cangkangnya. Hahaha... Gue sayang emak pokoknya!

Sky Before YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang